Minggu, 29 Mei 2011

Hukum Pidana Islam


A. PENGERTIAN JINAYAH
Kata Jinaayaat adalah bentuk jamak dari kata jinaayah, yang berarti perbuatan dosa, kejahatan atau pelanggaran. Bab Al-jinayah dalam fiqih Islam membicarakan bermacam-macam perbuatan pidana (jarimah) dan hukumnya.
Hukum had adalah hukuman yang telah dipastikan ketentuannya dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul.
Hukum ta’zir adalah hukuman yang tidak dipastikan ketentuannya dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hukum ta’zir menjadi wewenang penguasa untuk menentukannya.
B. JENIS JARIMAH
Hukum pidana Islam mengenal empat macam jarimah, ditinjau dari berat- ringannya macam hukuman yang diancamkan, yaitu:
1.      Jarimah Qisas, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman qisas. Qisas adalah hukuman yang sama dengan jarimah yang dilakukan. Yang termasuk jarimah ini ialah pembunuhan dengan sengaja dan penganiayaan dengan sengaja yang mengakibatkan terpotongnya atau terlukanya anggota badan.
2.      Jarimah Diyat, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman diyat, Diyat adalah hukuman ganti rugi atas penderitaan yang dialami si korban atau keluarganya, yang termasuk jarimah ini ialah pembunuhan tak disengaja yang mengakibatkan terpotongnya atau terlukanya anggota badan.
3.      Jarimah Hudud, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman had. Had adalah hukuman yang telah ditentukan dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul dan telah pasti macamnya serta menjadi hak Allah. tidak dapat diganti dengan macam hukuman lain atau dibatalkan sama sekali oleh manusia. Yang termasuk jarimah ini ialah pencurian (al-Sariqah), perampokan (al-Hirabah), pemberontakan (al-Bughat), zina (al-Zina), menuduh zina (al-Qadaf), minum-minuman keras (al-Sakr) dan Murtad (al-Riddah).
4.      Jarimah Ta’zir, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Jarimah ta’zir adalah hukuman yang tidak dipastikan ketentuannya dalam nash al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Jarimah ta’zir ada yang disebutkan dalam nash, tetapi macam hukumannya diserahkan kepada penguasa untuk menentukannya, dan ada jariamah yang macam maupun hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.




C. UNSUR-UNSUR JARIMAH
Suatu perbuatan dapat dipandang sebagai jarimah jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Unsur Formal, yaitu adanya nash atau ketentuannya yang menunjukkannya sebagai jarimah. Jarimah tidak akan terjadi sebelum dinyatakan dalam nash. Alasan harus ada unsur ini antara lain firman Allah dalam QS. al-Isra`: 15 yang mengajarkan bahwa Allah tidak akan menyiksa hamba-Nya sebelum mengutus utusan-Nya. Ajarannya ini berisi ketentuan bahwa hukuman akan ditimpakan kepada mereka yang membangkang ajaran Rasul Allah. Khusus untuk jarimah ta’zir, harus ada peraturan dan undang-undang yang telah dibuat oleh penguasa.
2. Unsur Material, yaitu adanya perbuatan melawan hukum yang benar-benar telah dilakukan. Hadist Nabi riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah mengajarkan bahwa Allah melewatkan hukuman untuk umat Nabi Muhammad saw atas sesuatu yang masih terkandung dalam hati, selagi ia tidak mengatakan dengan lisan atau mengerjakan dengan nyata.
3. Unsur Moral, yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat jarimah. Unsur ini menyangkut tanggung jawab pidana yang hanya dikenakan atas orang yang telah baligh, sehat akal dan ikhtiyar (berkebebasan berbuat).
D. SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM
Hukum Pidana Islam adalah bagian dari hukum Islam maka apabila hukum Islam bersumber dari al-Qur’an, hadits, Ijmak, Qiyas dan beberapa sumber yang diperselisikan, seperti: Ikhtisan, Istimbat, Marsihah, Urf, mazhab sahabat dan syariat sebelum Islam, maka hukum pidana Islam pun bersumber dari sumber-sumber tersebut. Tetapi pada umumnya bagi hukum pidana Islam formil, maka kesemua sumber diatas bisa dipakai, sedangkan untuk hukum materiel, hanya 3 sumber sudah disepakati, sedangkan Qias masih diperselisihkan.
E. AZAS LEGALITAS HUKUM PIDANA ISLAM
Dalam hukum pidana Islam tentu saja tidak ada istilah asas legalitas. Namun ternyata hukum pidana Islam juga mengenal prinsip-prinsip yang terkandung pada asas legalitas yakni disebutkan dalam al-Qur’an Surat al-Isra’ ayat 15:
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan meng’azab sebelum kami mengutus seorang Rasul”.


Menurut ayat ini, sebelum Allah mengutus seorang Rasul yang menjelaskan tentang perintah dan larangan , maka Allah tidak akan menghukum hambanya yang melakukan suatu perbuatan. Dengan kata lain, sebelum ada ketentuan yang melarang suatu perbuatan, maka perbuatan tersebut tidak dipandang sebagai perbuatan pidana, dan dengan demikian pelakunya tidak mendapat hukuman. Hal tersebut sesuai dengan asas legalitas yang dianut hukum positif di Indonesia. Sebagai contoh, pada al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 22 Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”
Dahulu masyarakat Arab mempunyai kebiasaan mengawini bekas isteri ayahnya yang telah diceraikan dianggap hal yang biasa, namun setelah turunnya ayat tersebut di atas, maka hal tersebut dilarang. Namun pada ayat di atas ada kalimat “terkecuali pada masa yang telah lampau”, itu artinya orang yang telah melakukan sebelum ada peraturan yakni ayat tersebut diturunkan, maka perbuatan mengawini bekas isteri ayah tidak dianggap dosa. Hal tersebut menegaskan bahwa jauh sebelum hukum positif mengenal asas legalitas, hukum Islam telah lebih dahulu menerapkan asas legalitas dalam penetapan hukum, hanya saja istilah asas legalitas memang belum dikenal pada masa itu namun sama pada prinsipnya.
F. GABUNGAN JARIMAH, TURUT SERTA BERBUAT JARIMAH, PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH, DAN BENTUK-BENTUK JARIMAH BESERTA UQUBAHNYA
Gabungan hukuman adalah serangkaian sanksi yang diterapakan kepada seorang apabila ia telah nyata melakukan jarimah (pidana) secara berulang-ulang dan antara perbuatan jarimah yang satu dengan yang lainnya belum mendapatkan putusan terakhir.
Para ulama berbeda pendapat mengenai gabungan jarimah, imam malik bin anas menyatakan bahwa apabila seseorang melakukan jarimah Qadzaf dan minum khamr lalu tertangkap maka hukumannya cukup satu yaitu delapan puluh kali jilid. Alasannya karena jenis dan tujuannya sama. Menurut imam Malik, Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hambal, hukuman mati itu menyerap semua jenis hukuman. Demikian pula bila kejahatannya berkenaan dengan hak Allah murni. Sedangkan jika kejahatan itu merupakan gabungan antara hak Allah dan hak Adami, maka hukuman yang dijatuhkan adalah hak Adami dulu baru kemudian hak Allah. Sedangkan imam Syafi’I berpendapat bahwa setiap jarimah tidak dapat digabungkan melainkan harus dijatuhi hukuman satu persatu.




Teori gabungan Jarimah
Gabungan jarimah di kalangan fuqaha
Teori tentang bergandanya hukuman sudah dikenal di kalangan fuqaha, tetapi teori tersebut dibatasi pula dengan dua teori yang lain, yaitu teori saling melengkapi (At-Tadakhul) dan teori penyerapan (Al-Jabbu)
Teori saling melengkapi ( At-Tadakhul)
Menurut teori ini, ketika terjadi gabungan jarimah, maka hukuman-hukumannya saling melengkapi, sehingga oleh karenanya itu semua semua perbuatan tersebut dijatuhi satu hukuman, seperti kalau ia memperkuat perbuatan. Teori ini didasarkan atas dua pertimbangan, yaitu:
pertama, meskipun perbuatan jarimah berganda, sedang semuanya adalah satu macam, seperti pencurian yang berulang kali atau fitnahan yang berulang kali, maka sudah sepantasnya kalau hanya dikenakan satu macam hukuman, selama belum ada keputusan hakim. Beberapa perbuatan dianggap satu macam selama objeknya adalah satu, meskipun berbeda-beda unsurnya serta hukumannya, seperti pencurian biasa dan gangguam keamanan (Hirabah). Alasan penjatuhan satu hukuman saja adalah bahwa pada dasarnya suatu hukuman dijatuhkan untuk maksud memberikan pengajaran (ta’dib) dan pencegahan terhadap orang lain (zajru), dan kedua tujuan ini dapat dicapai dengan satu hukuman selama cukup membawa hasil. Namun, kalau diperkirakan pembuat akan kembali melakukan perbuatan-perbuatannya, maka kemungkinan ini semata-mata tidak cukup, selama belum jadi kenyataan bahwa hukuman tersebut tidak cukup menahannya. Baru setelah mengulangi perbuatannya sesudah mendapat hukuman, maka ia dijatuhi hukuman lagi, karena hukuman yang pertama ternyata tidak berpengaruh.
kedua, meskipun perbuatan-perbuatan yang dilakukan berganda dan berbeda-beda macamnya, namun hukuman-hukumannya bisa saling melengkapinya dan cukup untuk satu hukuman yang dijatuhkan untuk melindungi kepentingan yang sama. Seseorang misalnya makan bangkai, darah dan daging babi, maka atas ketiga perbuatan ini dijatuhi satu hukuman, karena hukuman-hukuman tersebut dijatuhkan untuk mencapai satu tujuan, yaitu melindungi kesehatan perseorangan dan masyarakat.
Teori penyerapan (Al-Jabbu)
Yaitu menjatuhkan suatu hukuman, dimana hukuman-hukuman yang lain tidak dapat dijatuhkan. Hukuman tersebut dalam hal ini tidak lain adalah hukuman mati, dimana pelaksanaannya dengan sendirinya menyerap hukuman-hukuman lain. Teori ini dikemukakan oleh beberapa ulama diantaranya Imam Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad.

Menurut Imam Malik, apabila hukuman had berkumpul dengan hukuman mati karena Tuhan, seperti hukuman mati Karena jarimah murtad, atau berkumpul dengan hukuman mati karena qisash bagi seseorang lain, maka hukuman had tersebut tidaj dapat dijalankan karena hukuman mati tersebut menyerapnya, kecuali hukuman memfitnah saja (qadzaf) yang tetap dilaksanakan, dengan cara di-jilid dahulu delapan puluh kali, kemudian dihukum mati.
Menurut Imam Ahmad, apabila terjadi dua jarimah hudud, seperti mencuri dan zina bagi orang-orang muhshan, atau minum dan mengganggu keamanan (hirabah) dengan membunuh, maka hanya hukuman mati saja yang dijalankan, sedang hukuman-hukuman lain gugur. Kalau hukuman hudud berkumpul dengan hak-hak adami, dimana salah satunya diancam hukuman mati, maka hak-hak adami tersebut harus dilaksanakan terlebih dahulu, dan hak-hak Allah diserap oleh hukuman hukuman mati.
Bagi Imam Abu Hanifah, pada dasarnya apabila terdapat gabungan hak mannusia dengan hak-hak Allah, maka hak manusialah yang harus didahulukan, karena ia pada umumnya ingin lekas mendapatkan haknya. Kalau sesudah pelaksanaan hak tersebut hak Allah tidak bisa dijalankan lagi, maka hak tersebut hapus dengan sendirinya.
Pendapat Imam Syafi’I
Bagi Imam Syafi’i tidak ada teori penyerapan (al-jabbu), melainkan semua hukuman harus dijatuhkan selama tidak saling melengkapi (tadakhul). Caranya ialah dengan mendahulukan hukuman bagi hak-hak adami yang bukan hukuman mati, kemudian hukuman bagi hak Allah yang bukan hukuman mati kemudian lagi hukuman mati.
Teori hukum positif
pertama, teori berganda (cumulatie) yang dipegangi oleh hukum pidana Inggris. Menurut teori ini pembguat mendapat semua hukuman yang dittetapkan untuk tiap-tiap jarimah yang diperbuatnya. Kelemahan teori ini adalah terlalu banyaknya hukuman yang dijatuhkan. Hukuman penjara misalnya adalah hukuma sementara, tetapi bila digabung-gabungkan, maka akan menjadi hukuman seumur hidup.
kedua, teori penyerapan (absorptie), menurut teori ini hukuman yang lebih berat menghapuskan hukuman-hukuman yang lebih ringan. Kelemahan teori ini adalah bahwa memberikan peluang pada pembuat untuk (kembali) memperbuat jarimah-jarimah lain yang lebih ringan.
ketiga, teori campuran yang dimaksudkan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan kedua cara yang sebelumnya menurut teori gabungan tersebut, hukuman-hukuman bisa digabunngkan, asal hasil gabungan tidak melebihi batas tetentu, dan dengan batas tertentu ini dimaksudkan agar dapat terhindar keterlaluan dalam penjatuhan hukuman


Turut serta berbuat jarimah
Suatu jarimah adakalanya diperbuat oleh seorang diri dan adakalanya oleh beberapa orang. Apabila diperbuat oleh beberapa orang, maka bentuk-bentuk kerjasama antara mereka tidak lebih dari empat, yaitu:
- Pembuat melakukan jarimah bersama-sama orang lain ( memberikan bagiannya dalam melaksanakan jarimah). Artinya secara kebetual melakukan bersama-sama.
- Pembuat mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melaksanakan jarimah.
- Pembuat menghasut orang lain untuk memperbuat jarimah.
- Memberi bantuan atau kesempatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara, tanpa turut berbuat.
Pada KUHP Indonesia, pasal 55, kita dapati bentuk-bentuk kerjasama dalam melaksanakan jarimah, yaitu: melakukan, menyuruh melakukan, turut melakukan, dan menghasut, yang dijatuhi hukuman sebagai pembuat.
Sementara itu tentang hal ini para fuqaha hanya membicarakan hukum “turut-berbuat-langsung” yang disebut dalah istilah fuqaha Isytirak Mubasyir. Sedang hukum “turut-berbuat-tidak langsung” atau Isytirak Ghairu Mubasyir boleh dikata tidak disinggung-singgung. Hal ini mungkin disebabkan oleh aturan syari’at islam bahwa hukuman yang telah ditentukan hanya dijatuhkan atas orang yang turut-berbuat langsung, bukan atas orang yang turut-berbuat tidak langsung dan aturan tersebut diterapkan dengan teliti sekali oleh Imam Abu Hanifah.
Akan tetapi fuqaha selainnya mengecualikan jarimah pembunuhan dan penganiayaan dan ketentuan aturan umum tersebut yakni untuk kedua macam jarimah ini, baik pembuat langsung maupun yang tidak langsung dijatuhi hukuman. Alasannya karena kedua jarimah tersebut dapat dikerjakan secara langsung maupun tidak langsung, sesuai dengan sifat-sifat jarimah itu.
Jadi, pembuat tidak langsung apabila turut melakukan jarimah yang diancam hukuman tertentu maka tidak dikenakan dengan hukuman itu sendiri, sebab hukuman tersebut hanya diancamkan kepada pembuat langsung saja, akan tetapi dikenakan sebagai jarimah ta’zir.
Turut berbuat langsung
Pertama, orang yang memperbuat jarimah sendirian atau bersama-sama orang lain. Missal, jika masing-masing dari tiga orang mengarahkan tembakan kepada seseorang lalu seseorang tersebut mati karena tembakan itu, maka ketiga orang tersebut dianggap melakukan pembunuhan. Demikian juga dalam hal pencurian berjama;ah. Dalam hal ini fuqaha juga memisahkan apakah kerjasama itu dilakukan secara kebetulan (tawafuq) atau memang sudah direncanakan bersama-sama (tamalu). Menurut kebanyakan fuqaha ada perbedaan pertanggungjawaban peserta antara tawafuq dan tamalu. Pada tawafuq, masing-masing peserta hanya bertanggungjawab atas akibat perbuatannya saja, dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Akan tetapi pada tamalu, para peserta harus mempertanggungjawabkan akibat perbuatannya sebagai keseluruhan. Jika korban mati maka masing-masing peserta dianggap sebagai pembunuh.
Menurut Abu Hanifah, antara tawafuq dan tamalu sama saja hukumannya, yaitu masing-masing peserta hanya bertanggungjawab atas atas perbuatannya sendiri.
Kedua, juga dipandang sebagai turut-berbuat-langsung peserta yang menjadi sebab (tidak langsung), apabila pembuat-langsung hanya kaki tangannya semata-mata. Misalnya jika seseorang menyuruh anak dibawah umur untuk membunuhu orang lain, kemudian suruhan itu dilaksanakan, maka menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad orang yang menyuruh itu dipandang sebagai pembuat-langsung karena orang yang disuruh hanya merupakan alat semata-mata. Akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah, orang yang menyuruh tersebut tidak dianggap sebagai pembuat-langsung, kecuali jika suruhannya itu merupakan paksaan bagi orang yang melaksanakan. Namun demikian di kalangan hukum positif dan sarjana hukum-hukum positif belum ada kesepakatan tentang apakah kawan berbuat-tidak-langsung dapat dianggap sebagai pembuat langsung.
Turut-berbuat-tidak langsung
Yaitu setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain, atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan. Adapun unsure-unsur turut-berbuat-tidak langsung adalah sebagai berikut:
·         Unsure pertama, perbuatan di mana kawan berbuat-tidak langsung memberi bagian dalam pelaksanaannya, tidak diperlukan harus selesai dan juga tidak diperlukan bahwa pembuat asli harus dihukum pula. Jadi pembuat tidak langsung dapat dihukum meskipun pembuat asli (langsung) tidak dihukum (karena masih dibawah umur, dsb).
·         Unsure kedua, dengan persepakatan atau hasutan atau bantuan, yang dimaksud oleh kawan berbuat-tidak langsung untuk terjadinya jarimah tertentu.

Percobaan melakukan jarimah
Teori tentang jarimah “percobaan” tidak kita dapati di kalangan fuqaha, bahkan istilah “percobaan” dengan teknis yuridis juga tidak dikenal oleh mereka. Apa yang mereka bicarakan adalah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah yang belum selesai. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi teori tentang “percobaan” . Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu:

Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisash, melainkan dengan hukum ta’zir, bagaimanapun macam jarimah itu. Para fuqaha lebih banyak memberikan perhatiannya kepada jarimah hudud dan qisash diyat.
Dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari syara’ tentang hukuman jarimah ta’zir, maka aturan-aturan khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas setiap perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kafarat. Pencuri misalnya apabila telah melobangi dinding rumah, kemudian dapat ditangkap sebelum sempat memasukinya, maka perbuatannya itu semata-mata dianggap maksiat yang bisa dijatuhi hukuman meskipun sebenarnya baru merupakan permulaan dari pelaksanaan jarimah pencurian.
Menurut KUHP Indonesia percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat dihukum (pasal 54). Sesuai dengan pendirian syara’, maka pada peristiwa penganiayaan dengan maksud membunuh, apabila tidak mengenai sasaran, maka perbuatan itu disebut maksiat dan hukumannya adalah ta’zir.
Fase-fase pelaksanaan jarimah
Fase pemikiran dan perencanaan. Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan dalam syari’at islam, seseorang tidak dapat dituntut karena lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam hatinya. Sesuai dengan sabda Rasullullah saw:
“Tuhan memaafkan umatku dari apa yang dibisikkan atau dicetuskan oleh dirinya, selama ia tidak berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya dituntut karena kata-kata yang diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya.”
Fase persiapan. Menyiapkan alat-alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti membeli senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap makisiat yang dapat dihukum, kecuali apabila persiapan itu sendiri dipandang sebagai maksiat, seperti hendak mencuri milik seseorang dengan jalan membiusnya. Dalam contoh ini membeli alat bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap maksiat yang dihukum, tanpa memerlukan kepada selesainya maksud yang hendak dituju yaitu mencuri.
Fase pelaksanaan. Pada fase inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dapat dihukum, tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan unsure materil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa maksiat, yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsure materil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsure materil masih terdapat beberapa langkah lagi.


Hukuman “percobaan”
Menurut aturan syari’at islam, untuk jarimah-jarimah hudud dan qisash, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai. Aturan tersebut berdasarkan hadis Nabi saw: “ siapa yang mencapai hukuman had bukan pada jarimah hudud maka dia adalah orang yang menyeleweng”. Oleh karena itu percobaan melakukan zina tidak boleh dihukum dengan hukuman yang dijatuhkan atas dasar perbuatan zina sendiri yaitu rajam dan jilid.
Bentuk jarimah dan uqubahnya
Jarimah itu dapat dibagi menjadi beberapa macam dan jenis sesuai dengan aspek yang ditonjolkan. Para ulama membagi jarimah berdasarkan sapek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya di Al-Quran atau Hadis. Mereka membaginya menjadi tiga macam:
Jarimah hudud Meliputi :
-          Perzinahan, Hukumannya adalah:
Zina Ghair Muhshan : Dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun.
Zina Muhshan : Dera seratus kali dan rajam
Qadzaf, hukumannya adalah:Hukuman pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak delapan puluh kali.
Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya.

-          Minum khamr, hukumannya adalah:
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah : Hukumannya adalah dera delapan puluh kali.
Imam Syafi’I dan satu riwayat dari Imam Ahmad : hukumannya adalah dera empat puluh kali.
Pencurian, hukumannya adalah: hukuman potong tangan.

-          Perampokan, hukuamnya adalah :
Hirabah menakut-nakuti : pengasingan (al-maidah:33)
Hirabah mengambil harta tanpa membunuh: dipotong tangan dan kakinya dengan bersilang, yaitu dipotong tangan kanan dan kaki kirinya (Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, dan Syi’ah Zaidiyah), sedangkan menurut Zhahiriah hukumannya adalah ta’zir.

-          Hirabah membunuh tanpa mengambil harta :
hukuman mati sebagai hukuman had tanpa disalib (Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad dalam suatu riwayat), namun menurut Imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah, disamping dibunuh juga disalib.



Hirabah membunuh dan mrngambil harta : dibunuh dan disalib tanpa dipotong tangan dan kaki ( Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Syi’ah Zaidiyah, Ima Abu Yusuf, dan Imam Muhammad), sementara itu yang lain menyatakan hukumannya adalah diserahkan kepada hakim untuk memilih apakah potong tangan dan kaki lalun dibunuh atau disalib, dibunuh tanpa disalib dan tanpa potong tangan dan kaki, atau disalib kemudian dibunuh (Imam Abu Hanifah).

-          Pemberontakan, hukumannya adalah:jika membunuh orang sebelum terjadinya pemberontakan, maka dibunuh, jika mencuri diberlakukan hukuman pencurian, apabila merampas hak orang lain maka dikenakan ganti rugi, dsb.

Murtad, hukumannya adalah :
Hukuman pokok : yaitu hukuman mati dan statusnya sebagai hukuman had.
Hukuman pengganti : yaitu, jika bertobat, maka diganti dengan hukuman ta’zir. Jika hukuman pokok gugur karena syubhat, maka dipenjara dan diusahakan kembali ke diinul hak.
Jarimah qishash atau diyat
Meliputi: pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena kesalahan, pelukaan sengaja, pelukaan semi sengaja. Hukumannya adalah dibunuh jika membunuh, dsb.
Jarimah ta’zir
Jarimah ini terbagi menjadi tiga bagian:
Jarimah hudud atau qisash diyat yang syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat. Misalnya, percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, dll.
Jarimah yang ditentukan oleh Al-Quran dan Hadis namun tidak ditentukan sanksinya. Missal, saksi palsu, penghinaan, dll.
–>Jarimah yang ditentukan oleh ulil amri untuk kemaslahatan umum. Dalam hal ini nilai ajaran islam dijadikan pertimbangan penentuan kemashlahatan umum. Misalnya pelanggaran atas peraturan lalu lintas.
Hukumannya diserahkan pada hakim sesuai dengan perbuatannya.




G. HUKUMAN
1. Pengertian Hukuman
Hukuman dalam Bahasa Arab disebut ‘Uqubah. Lafaz ini menurut bahasa berasal dari ‘Aqabah yang sinonimnya: Khalafahu wajaa’a Biaqabihi artinya mengiringya dan datang dari belakangnya. dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati istilah barangkali lafaz tersebut bisa di ambil dari lafaz Aqabah yang sinonimnya Jazaahu Sawaan bimaa Fa’ala artinya membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang meyimpang yang telah dilakukan,
Dalam bahasa Indonesia hukuman diartikan sebagai “Siksa dan sebagainya” atai “ Keputusan yang dijatuhkan Hakim”
Dalam hukum positif di Indonesia istilah hukuman hampir sama dengan pidana walaupun sebenarnya seperti apa yang dikatakan oleh Wirjono Projodikoro kata hukuman sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata pidana, oleh karena ada istilah hukuman pidana dan hukuman perdata seperti misalnya ganti rugi.

Menurut Hukum Pidana Islam hukuman adalah seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah sebagai berikut:
Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentinan masyarakat karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara.
2. Tujuan Hukuman
Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ialah pencegahan (ar’radu waz zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-Islah wat Tahdsib). Pengertian pencegahan ialah ialah menahan pembuat agar tidak mengulangi perbuatan jarimah atau ia tidak terus menerus memperbuatnya, disamping pencegahan terhadap orang lain selain pembuat agar tidak memperbuat jarimah sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan terhadap orang yang memperbuat pula perbuatan yang sama.
Dengan demikian maka kegunaan pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan terhadap pembuat sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya dan menahan orang lain untuk tidak memperbuatnya pula dan menjauhkan diri dari lingkungan jarimah. Oleh karena itu tujuan hukuman adalah pencegahan maka besarnya hukuman harus sesuai dan cukup mampu mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, dengan demikian terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Apabil kondisinya demikian maka hukuman terutama Ta’zir dapat berbeda-beda sesuai dengan perdedaan pelakunya.
Tujuan yang kedua perbaikan dan pendidikan adalah mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahan. Di sini dapat dilihat bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap diri pelakunya. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena akan hukuman melainkan kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat Ridha Allah SWT.
Disamping kebaikan dan pendidikan dalam syari’at Islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi oleh rasa saling menghormati dan mencintai sesama anggotanya dengan mengetahui batas hak dan kewajibannya. Pada hakekatnya suatu jarimah adalah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan serta membangkitkan kemarahan masyarakat terhadap pembuatnya. Dengan demikian akan terwujud rasa keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.
3. Macam-macam Hukuman
Setelah kami membaca dari beberapa literatur terdapat beberapa penggolongan tentang macam-macam hukuman dapat disimpulkan bahwa macam-macam hukuman dalam Hukum Pidana Islam ialah sebagai berikut:
a.       Hukuman Hudud ialah hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud yang telah ditetapkan oleh Allah.
b.      Hukuman Qishas dan diat yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman qishas dan diat tetapi hukuman ini adalah Hak manusia.
c.       Hukuman Kifarat ialah hukuman yang ditetapkan untuk sebagian jarimah qishas dan diat dan beberapa jarimah ta’zir.
d.      Hukuman ta’zir yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah ta’zir.

4.Syarat-syarat Hukuman

Agar hukuman itu diakui keberadaanya maka harus dipenuhi tiga syarat di antaranya sebagai berikut:
a. Hukuman Harus ada Dasarnya dari Syara’
Hukuman dianggap mempunyai dasar “ Syari’iyah” apabila di dasarkan kepada sumber-sumber syara seperti al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma atau Undang-undang yang telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang “Ulil Amri” seperti dalam hukuman ta’zir. Dalam hukuman ditetapkan oleh Ulil Amri maka disyaratakn tidak boleh bertetangan dengan ketentuan syara’.

Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri walaupun ia berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan lebih utama daripada hukuman yang telah ditetapkan.





b. Hukuman Harus bersifat Pribadi

Hukuman disyaratkan harus bersifat pribadi atau perorangan. Ini tidak mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Syarat ini merupakan salah satu dasar dan prinsip yang ditegakkan oleh syari’at Islam.

c. Hukuman Harus Bersifat Umum

Hukuman juga disyaratkan harus berlaku umum. Ini mengandung arti bahwa hukuman harus berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi apapun pangkat, jabatan, status dan kedudukannya didepan hukum semua status sama, tidak perbedaan yang kaya dan miskin, antara pejabat dengan rakyat biasa antara bangsawan dan rakyat jelata.

5.        Pengguguran Hukuman
Pada dasarnya yang dimaksud dengan gugurnya hukuman di sini adalah tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau diputuskan hakim, berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan hukuman yang sudah tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya telah lewat.

Adapun sebab-sebab gugurnya hukuman ialah:

a. Meninggalnya Pelaku
b. Hilangnya Anggota badan yang akan di Qishas
c. Tobatnya pelaku
d. Perdamaian
e. Pengampunan
6. Sebab-sebab Hapusnya Hukuman
Pada dasarnya sebab-sebab hapusnya hukuman bertalian dengan keadaan diri pembuat, sedang sebab kebolehan sesuatu yang bertalian dengan keadaan perbuatan itu sendiri. Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah sebagai berikut:
a.       Paksaan
Beberapa pengertian yang telah diberikan oleh para fugaha tentang paksaan.Pertama paksaan ialah suatu perbuatan yang diperbuat oleh seseorang karena orang lain dan oleh karena itu hilang kerelaannya atau tidak sempurna lagi pilihannya. Kedua paksaan ialah suatu perbuatan yang ke luar dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk melakukannya perbuatan yang diperintahkan. Ketiga paksaan merupakan ancaman atas seorang dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakaannya. Ke empat paksaan ialah apa yang diperintahkan seorang pada orang lain yaitu membahayakan dan menyakitinya.



b.      Mabuk
Syari’at Islam melarang minuman Khamar baik sampai mengakibatkan mabuk atau tidak. Minum khamar termasuk jarimah hudud dan dihukum dengan delapan puluh jilid sebagai hukuman pokok.

Mengenai pertanggung jawab pidana bagi orang yang mabuk maka menurut pendapat yang kuat dari empat kalangan mazhab fiqhi ialah bahwa dia tidak dijatuhi hukuman atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya, jika ia dipaksa atau secara terpaksa atau dengan kehendak sendiri tapi tidak mengetahui bahwa apa yang diminumnya itu bisa mengakibatkan mabuk.

c. Gila
Seseorang dipandang sebagai orang Mukallaf oleh Syari’at Islam artinya dibebani pertanggungjawaban pidana apabila ia adalah orang yang mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan memilih (idrak dan ikhtiar). Apabila salah satu dari kedua perkara itu tidak ada maka hapus pula pertanggung jawab tersebut. Oleh karena itu Orang Gila tidak dikenakan hukum Jarimah karena ia tidak mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan meilih dalam bahasa Arab disebut juga Junun atau Gila.

c.    Di Bawah Umur

Konsep yang dikemukakan oleh Syari’at Islam tentang pertanggung jawab anak belum dewasa merupakan Konsep yang baik sekali dan meskipun telah lama usianya, namun menyamai teori terbaru di kalangan hukum positif.

Menurut Syari’at Islam pertanggung jawab pidana didasarkan atas dua perkara yaitu ketentuan berpikit dan pilihan iradah dan ikhtiar. Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut masa yang dilalui hidupnya mulai dari waktu kelahirannya sampai memiliki kdua perkara tersebut

1 komentar: