Rabu, 04 Mei 2011

Problematika PerkawinanAntar Pemeluk Agama Yang Berbeda


B AB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah


       Allah telah menciptakan manusia ini  yang berasal dari seorang peria dan wanita ( Adam dan Hawa ) kemudian dijadikan   berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling kenal.mengenal, Perkenalan seorang peria dengan seorang wanita menimbulkan perasaan tertarik , kemudian berlanjut menjadi perkawinan.
       Diera modern pergaulan antara serang peria dengan seorang wanita telah melampoi batas-batas kesukuan, etnis, kewarganegaraan bahkan perbedaan agama, itu berarti perbedaan etnis dan perbedaan agama  tidak menjadi penghalang untuk saling  berkenalan, bahkan tidak sedikit awal dari perkjenalan tersebut beranjak kejenjang perkawinan, dengan adanya era globalisasi  yang telah melanda penduduk manusia di dunia seorang peria dan seorang wanita  terjadi pergaulan bebas tanpa batas dan hal ini sering menimbulkan  terjadinya  perkawinan antar  agama.

B.   Rumusan Masalah

Dari latar belakng tersebut dapat dirumuskan masalah sebagi berikut :
1.     Bagaimana aspek hukumnya Perkawinan berbeda agama di Indonesia
2.     Bagaimana Dampak perkawinan beda agama terhadap pasangan yang melakukan perkawinan  tersebut.
C.   Tujuan penulisan.
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagi berikut :
1.     untuk mengkaji aspek hukum perkawinan beda agama  dalam tatahukum di Indonesia
2.     untuk mengkaji dampak yang akan timbul dari perkaweinan yang berbeda agama
3.     untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Kapita selekta Hukum Perdata.



 




BAB II

PEMBAHASAN
A.  Pengertian Perkawinan  Antar Pemeluk Agama
           Yang dimaksud dengan perkawinan anatar pemeluk agama adalah perkawinan antara pemeluk suatu agama dengan pemeluk agama yang berbeda ( peria/wanita )
1. Menurut Agama Islam
perkawinan beda agama hukumnya sebagai berikut:
       Perkawinan antar seorang peria muslim dengan wanita musyrik. Islam melarang perkawinan dengan seorang peria muslim dengan  wanita musyrik sebagiman  dalam surat albaqoroh ayat : 221
ولا تنكحوا المشركا ت حتى يؤ من  ولامه مؤ منه  خير  من مشركه  ولو اعجبتكم
ولا تنكحوا  المشركين  حتى يؤ منوا  ولعبد  مؤ من خير من مشركه  ولو اعجبكم  
      Artinya  janganlah kamu mengawini wanita musyrik sebelum beriman, sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik dari wanita musyrik walaupun  dia menarik hati mu.
      Hanya dikalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah yang haram di kawin itu? Menurut  Ibnu  Jarir Atthobari seorang ahli tafsir menyatakan bahawa musyrikah yang dilarang untuk di kawini itu ialah  musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunkan alquran memang tidak mengenal kitab suci dan menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini seorang muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non arab seperti wanita Cina, India dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci seperti pemeluk agama Buda, Hindu, Konghucu, yang percaya pada Tuhan yang Maha Esa, percaya adanya hidup sesudah mati dan sebagainya. Muhamad Abduh juga dengan ini ( Rasyid ridha  1367 H : 187,188 ) tetapi kebyanyakan ulama berpendapat  bahwa semua musyrikah baik arab atau non arob selain  ahlulkitab , yakni  Yahudi ( yudaisme ) dan Kristen  tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahwa wanita yang bukan islam, dan bukan pula  Yahudi/ keristen tidak boleh dikawini oleh pria muslim apapun agama atau kepercayaanya, seperti buda, hindu, karena pemeluk agama selain islam Kristen dan yahudi termasuk  kata gori musyrikah.
       Menurut Agama Katholik
       Bahwa perkawinan antara seorang penganut katholik dengan agama lain tidak sah ( Kanon 1086 ). Naun demikian , bagi mereka yang sudah tidak mungkin dipisahkan lagi karena cintanya  sudah terlalu mendalam, pejabat gereja yang berwenang yakni uskup dapat memberi dispensasi ( Pengecualian) dari atauran umum untuk suatu keadaan yang khusus  dengan jalan mengawinkan pmeluk agama katholik dengan pemeluk agalain itu, asal saja kedua-duanya memenuhi syarat yang ditentukan hokum greja dalam kanon 1125 yakni:
1. yang bergama khatolik berjanji
a akan tetap setia pada iman katolik
b. berusaha memandikan dan mendidik semua anak mereka secara katolik, sedang
2.yang tidak katolik berjani antra lain :
a. Menerima perkawinan secara katolik
b. Tidak akan ,menceraikan pihak yang ber agama katolik
c.Tidak akan menghalang-hal;angi pihalk yang katolik melaksaankan imannya
d. Bersedia mendidik anaknya secara katolik.
       Menurut agama Kristen protentan
       Bahwa untuk mewujudkan kebahagian perkawinan  greja protestan menganjurkan kepada pengikutnya untuk mencari pasangan hidup yang seiman. akan tetapi dalam situasi yang tidak dapat dihindari yakni dalam darurat, gereja dapat mengizinkan perkawinan antra orang-orang yang berbeda agama yaitu orang Kristen dengan agama lain, asal dipenuhi beberapa syarat yang ditetapkan oleh masing-masing gereja yang berbeda satu  dengan yang lain.
 Gereja Kristen indonesia misalnya menetapkan antara lain :
1. yang Agama Kristen protestan harus menandatangani perjanjian yang berisi:
a. Tetap akan melaksanakan iman kristennya
b. Akan membaptis anak-naknya yang laihir dari perkawinan itu secara Kristen
c. Berjani akan mendidik anak mereka secara Kristen
2. yang bukan agama  Kristen protestan harus menandatangani  surat pernyataan:
a. tidak keberatan perkawinan di gereja  protestan
b. tidak keberatan anak mereka didik secara protestan
Menurut agama Hindu
        Didalam ajaran agama Hindu suatu perkawinan dapat disahkan jika kedua mempelai itu telah menganut agama yang sama yaitu  Hindu. Menurut hokum Hindu, untuk pengesahan suatu perkawinan tidak ada suatu eksepsi klusale yang memungkin  Brahmana mengesahkan upacara perkawinan kalau kedua mempelau itu berbeda agama.
          Jika kedua mempelai berbeda agama, Brahmana baru  bersedia mengesahkan perkawinan mereka kalau pihak yang bukan hindu telah disuddhikan ( disahkan ) sebagai pemeluk agama Hindu dan menandatangani suddhi fadhoni (  surat pernyataan masuk agama hindu.).
B. Tinjauhan hukum mengenai perkawinan antar agama
        Dari segi hukum, perkawinan pria seorang muslim dengan  wanita ahli kitab sebenarnya  dibolehkan ( tidak dilarang ) akan tetapi fatwa MUI tanggal 1 Juni 1980 dan KHI ( kompilasi Hukum islam ) melarang perkawinan antar agama secara total tanpa kecuali. Dalam kontek ini menarik untuk dikaji apakah Fatwa tersebut dapat diterima keabsahannya dari segi hukum ?
        Karena secara  lahiriyah bertentangan dengan kandungan Alquran (Qs 5: 5 )
والمحصنات من المؤ منات  والمحصنات من اللذين  او توا الكتا ب من  قبلكم
       Artinya… Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan  diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan  diantara orang-orang yang diberi  Al-kitab sebelum kamu.      
        Fatwa MUI ( Majelis Ulama Indonesia )yang melarang Perkawinan antara agama cukup beralasan, jika hal itu ditinjau dari pemahaman dan pelaksanaan tujuan-tujuan syariat ( Maqosidusyariah ) , Bagi umat islam perkawinan bukan hanya  perjanjian lahiriyah tentang kelangsungan keturunan tetapi juga  bertalian suci yang bertujuan mencapai kebahagiaan dan  kepatuhan kepada Allah swt. Oleh karena itu ketaatan pada suatu agama ( seiman ) oleh pihak yang berkepentingan merupakan unsur penting dalam suatu perkawinan
       Kebolehan yang diberikan kepada pria muslim untuk menikah wanita Ahlul kitab  adalah izin bersyarat artinya perkawinan itu dibolehkan selama peria tersebut dapat menjaga dirinya dan membimbing anaknya tetap dalam jalan islam. Jadi substansi larangan perkawinan antara agama      adalah pencegahan bagi  peria dan wanita islam untuk berpindah agama    (  murtad ) hal ini penting, mengingat persaingan Muslim Kristen tidak kunjung berakir, dan kehawatiran umat islam terhadap ancaman kristenisasi.
       Meskipun  kerukunan antar umat beragama Indonesia  berjalan baik serta  banyak pihak yang menginginkan dialog Timur Barat ( islam Kristen), tetapi masih banyak bahkan di kalangan ilmuan sendiri yang menganggap islam sebagai ancaman terhadap Kristen.
       Kenyartaan ini meyakinkan kita tentang persaingan keagamaan yang rumit dalam kehidupan modern. Keinsyapan inilah  yang mendorong MUI mengeluarkan fatwa tersebut di atas.
     Dengan demikian larangan  perkawinan antar agama  erat kaitannya dengan  konteks social umat islam dewasa ini dengan pertimbangan perinsip kemasalahatan umum.
 Dalam kehidupan dunia modern kerugian yang diakibatkan perkawinan seperti itu lebih besar dari pada keuntungannya, maka oleh karena itu dieterapkanlah  qidah fiqhiyah:
 درء المفا سد مقدم على  جلب  المصا لح

        Penjelasan diatas menunjukan bahwa meskipun alquran membolehkan perkawinan peria muslim dengan wanita ahlul kitab, faktor kondisional umat islam  menuntut pelarangannya. Dengan kata lain ide hukum yang terkandung dalam alquran ( Qs 5. 5 ) memungkinkan untuk tidak diterapkan kepada umat islam Indonesia karena kondisinya tidak sesuai dengan yang berdasarkan alquran.
        Jika  ide tersebut diterapkan maka tujuan syaraiat tidak tercapai dan ini  erat kaitannya dengan masalah  iqaf altanfidz.
      Dengan demikian dari segi segi hukum larang perkawinan antar agama bagi umat islam harus ditempatkan dalam persepektif tujuan syariat. Untuk mewujudkan tujuan syariat, penerapan hukum terhadap suatu masalah perlu dipertimbangkan kondisi sosiopolitis dan sosiocultural masyarakat dimana hukum itu diterapkan.
      Dalam  kondisi social umat islam Indonesia dewasa ini larangan perkawinan antar agama merupakan suatu ketetapan yang legal dan absah. Sebab dengan larangan tersebut ide hukum  tentang keluarga islami dan komunitas muslim yang terkandung dalam alquran dapat terwujud .
C. Dampak Perkawinan Antar Agama
       Perkawinan bukan hanya semata-mata  untuk memenuhi kebutuhan biologis semata, tetapi juga memenuhi kebutuhan afeksional. Kebutuhan Afeksional yaitu kebutuhan manusia untuk mencintai dan dicintai , rasa kasih sayang, rasa aman dan terlindung, dihargai, diperhatikan dan lain sebaginya.
      Faktor efeksional  suatu perk,awinan tidak bersifat semenrtara tetapi melandasi hubungan suami istri seumur hidup. Saling cinta dan saling mengasihi kedua belah  pihak adalah suatu yang alami dan sejalan dengan hukum dan sunah Allah, itu sebagi bukti kebesaran yang maha pencipta.
       Keluarga bahagia sulit terwujud jika suatu perkawinan tidak dilandasi  keyakinan yang sama ( seiman )  perkawinan beda agama dapat menimbulkan  tekanan psykolososial, berupa konflik kejiwaan yang pada  giliranya dapat mengakibatkan disfungsi perkawinan itu sendiri. Jika terjadi konflik  perbedaan agama yang tidak dapat diselsaikan, suami atau istri kemungkinan tidak akan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya, tetapi memilih pola hidup sekuler, pola hidup sekuler akan menimbulkan konflik baru yang sulit diatasi dan dapat menjurus kepada konflik keluarga.
      Dampak Psycologi lainnya dari  perkawinan beda agama adalah  perkembangan pertumbuhan anak. Perbedaan agama antara ayah dan ibu dapat membingungkan anak dalam hal memilih agama, apakah ia akan memilih agama ayah atau agama ibu atau mungkin anak akan memilih tidak beragama sama sekali (Ateis ).
       Dari tataran pemikiran tersebut diatas yang perlu digaris bawahi , bahwa perkawinan beda agama  menimbulkan dampak negatif Psycologis terhadap kedua belah pihak ( suami, istri ) serta pertumbuhan keagamaan dalam diri anak. Oleh sebab itulah islam menganjurkan perkawinan harus seagama sebagimana Hadits Nabi :
تنكح  المرءة  لاربع لمالها  ولنسابها  ولجما لها و لدينها فا ظفر بذات  الد ين تربت يداك
       Artinya wanita itu dinikahi karena  empat hal, karena kekayaannya, karena keturunannya, karena kecantikannya  atau karena  agamanya, akantetapi utamakanlah karena agamanya agar engkau memperoleh kebahagiaan.













BAB  III
PENUTUP
A. Kesimpulan
      Dari uraian terssebut diatas dapt penulis simpulkan sebagi berikut :
1. Bahwa perkawinan beda agama dilarang oleh  seluruh agama-agama yang ada di Indonesia., baik oleh Agama Islam, Katholik, Kristen, Hindu dan Budha.
2. Bahwa perkawinan beda agama tidak diatur oleh undang-undang nomor 1 tahun 1974 karena bertentangan dengan pasal 29 UUD. 1945 Jo. Pasal 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang perkawinan.
3. Bahwa perkawinan beda agama akan menimbulkan dampak negatif Psykologis  bagi pasangan  suami istri , yang akan menimbulkan konflik kejiwaan dan pendangkalan keagamaan dengan tidak melaksanakan ajaran  agama masing-masing yang mereka anut, bahkan akan memilih pola hidup sekuler yang akhirnya akan menjurus kepada konflik keluarga.
4. Bahwa perkawinan beda agama akan menimbulkan  dampak negatif kepada keturunan mereka dalam menentukan agama yang di anut, apakah akan  memilih agama Bapak, atau memililih agama Ibu, bahkan mungkin akan memilih tidak ber agama ( Ateis )

B. Saran-saran
      Sebelum mengakhiri tulisan ini ada beberapa hal yang ingin  penulis  sarankan sebagi  berikut :
1. Agar tidak terjadi perkawinan beda agama, maka  calon pasangan suami istri yang akan menikah harus memahami dan mengetahui ajaran agama masing-masing.
2. Hendaklah Para pengasuh umat untuk  intensip memberikan penerangan dan pemahaman agama kepada pemeluknya masing-masing, agar tidak  melakukan penyimpangan terhadap agama yang diyakininya.











DAFTAR PUSTAKA
Dadang Hawari,  1997,  Ilmu Kedokteran jiwa dan  Kesehatan jiwa , Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta.
Daya S. Meliala,  1988, Masalah Perkawinan antar Agama dan Kepercayaan di Indonesia Dalam Persefektif Hukum, Grama widya Darma, Bandung.
Depertemen Agama,  1991, Alquran dan Terjamahnya, Intermasa, Semarang.
M. Natsir Tamara dan  Elza Peldi Taher, 1996,  Agama dan Dialog antar Peradaban, Paramadina, Jakarta.
Mohd. Idris Ramulyo,  1996,  Hukum Perkawinan Islam,  Bumi Aksara, Jakarta.
Moh. Daud Ali,  1991,  Hukum Islam di Indonesia dan Masalahnya, Pascasarjana UI, Jakarta.
Majelis Ulama Indonesia,  1986,  Tuntunan Perkawinan Bagi Umat Islam Indonesia , Sekretariat MUI, Jakarta.
Nurcholis Majid, 1997,  Masyarakat Religius,  Paramadina, Jakarta.
Suparman Usman,  1995,  Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia, Saudara, Serang.
Dadang Hawari,  1997,  Ilmu Kedokteran jiwa dan  Kesehatan jiwa , Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta.
Yosep Koningsman, 1989,  Pedoman Hukum Perkawinan Gereja Katholik,  Nusa indah, Flores Ende.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar