Minggu, 29 Mei 2011

KONSEP PERNIKAHAN DALAM ISLAM



KATA PENGANTAR
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam.

Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Islam mengajarkannya.
Nikah merupakan jalan yang paling bermanfa’at dan paling afdhal dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya.
Nikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia, demi mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari persilangan syar’i tersebut sepasang suami istri dapat menghasilkan keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini menjadi semakin semarak.
Melalui risalah singkat ini. Anda diajak untuk bisa mempelajari dan menyelami tata cara perkawinan Islam yang begitu agung nan penuh nuansa. Anda akan diajak untuk meninggalkan tradisi-tradisi masa lalu yang penuh dengan upacara-upacara dan adat istiadat yang berkepanjangan dan melelahkan.
Mestikah kita bergelimang dengan kesombongan dan kedurhakaan hanya lantaran sebuah pernikahan ..?
Na’udzu billahi min dzalik.
Wallahu musta’an.
MUQADIMAH
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral.
Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam Bani Adam lah yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Ilahi sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?. Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Al-Baqarah : 30).
Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (MITSAAQON GHOLIIDHOO), sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (An-Nisaa’ : 21).
Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya suami istri, memelihara dan menjaganya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail.
Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih -pen). Dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat kita.
Tentu saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, hanya beberapa persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : Fitrah Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam, Tata Cara Perkawinan dan Penyimpangan Dalam Perkawinan.
PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN
Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya.
Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam.
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Ar-Ruum : 30).
A. Islam Menganjurkan NikahIslam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”. (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim).
B. Islam Tidak Menyukai MembujangRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras”. Dan beliau bersabda :
“Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat”. (Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban).
Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya …. Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda :
“Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku”. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : “Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab”.Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.
Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.
Islam menolak sistem ke-rahib-an karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Allah Ta’ala yang telah ditetapkan bagi makhluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allah, misalnya ia berkata : “Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!”.
Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya:
“Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
(An-Nur : 32).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya :
“Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”. (Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu).
Para Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu pernah berkata : “Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Allah sebagai seorang bujangan”. (Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul ‘Arus hal. 20).

TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Di tulisan terdahulu [bagian kedua] kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang IslamiDalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim”. (Al-Baqarah : 229).
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
“Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “. (Al-Baqarah : 230).
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal :
a.       Harus Kafa’ah
b.      Shalihah
a.      Kafa’ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.
Menurut Islam, Kafa’ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa’ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, bukan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya (Al-Hujuraat : 13).
“Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujuraat : 13).
Dan mereka tetap sekufu’ dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahankan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”. (Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175).
b.      Memilih Yang Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih.
Menurut Al-Qur’an wanita yang shalihah ialah :
“Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)”. (An-Nisaa : 34).
Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :
“Ta’at kepada Allah, Ta’at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta’at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta’at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya”.
Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat.
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa’i dengan sanad yang Shahih).
5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”. (An-Nahl : 72).
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak “Lembaga Pendidikan Islam”, tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.
Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.
TATA CARA PERKAWINAN DALAM ISLAM
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih (sesuai dengan pemahaman para Salafus Shalih -peny), secara singkat penulis sebutkan dan jelaskan seperlunya :
1.      Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq ‘alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).
2.      Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
3.      Walimah
Walimatul ‘urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah).
Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa”. (Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa’id Al-Khudri).

SEBAGIAN PENYELEWENGAN YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN YANG WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN
1.      Pacaran
Kebanyakan orang sebelum melangsungkan perkawinan biasanya “Berpacaran” terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau dianggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.
Adanya anggapan seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama antar berbagai pihak untuk menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari’at Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram.
2.      Tukar Cincin
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zafat, Nashiruddin Al-Bani)
3.      Menuntut Mahar Yang Tinggi
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.
Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang membatasi mahar wanita, adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah. (Lihat Irwa’ul Ghalil 6, hal. 347-348).
4.      Mengikuti Upacara Adat
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan.
Sungguh sangat ironis…!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin kepada Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”. (Al-Maaidah : 50).
Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Artinya : Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali-Imran : 85).
5.      Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah
Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa’ Wal Banin, ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa’ Wal Banin (=semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam.Dari Al-Hasan, bahwa ‘Aqil bin Abi Thalib nikah dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa’ Wal Banin. ‘Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata : “Janganlah kalian ucapkan demikian !. Karena Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam melarang ucapan demikian”. Para tamu bertanya :”Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?”.
‘Aqil menjelaskan :
“Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka ‘Alaiykum” (= Mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan). Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain).

Do’a yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai ialah :
“Baarakallahu laka wa baarakaa ‘alaiyka wa jama’a baiynakumaa fii khoir”

Do’a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
‘Artinya : Dari Abu hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan do’a : (Baarakallahu laka wabaraka ‘alaiyka wa jama’a baiynakuma fii khoir) = Mudah-mudahan Allah memberimu keberkahan, Mudah-mudahan Allah mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad 2:38, Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim 2:183, Ibnu Majah dan Baihaqi 7:148).
6.      Adanya Ikhtilath
Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah, sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya.
7.      Pelanggaran Lain
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar bingar.
KHATIMAH
Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang), Allah berfirman :
“Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Ar-Ruum : 21).
Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan dan
kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsinya
masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridla’an Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda “kemelut” perselisihan dan percekcokan.
Bila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa : 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.
Marilah kita berupaya untuk melakasanakan perkawinan secara Islam dan membina rumah tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan aturan, tata cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (Ali-Imran : 19).

“Artinya : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Al-Furqaan : 74)
Amiin. Wallahu a’alam bish shawab.
===============================================================
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.
Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.
(QS.At-Thalaq:2-6)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
(QS.Ali-Imraan:102)

PERNIKAHAN DALAM ISLAM


Pernikahan merupakan ikatan diantara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir (mental), pendidikan dan lain hal.

Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat.

Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat "ijab dan qabul". Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh. Aqad nikah bukan hanya perjanjian antara dua insan. Aqad nikah juga merupakan perjanjian antara makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah dengan mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan Allah SWT, "Yadullahi fawqa aydihim".

Begitu sakralnya aqad nikah, sehingga Allah menyebutnya "Mitsaqon gholizho" atau perjanjian Allah yang berat. Juga seperti perjanjian Allah dengan Bani Israil dan juga Perjanjian Allah dengan para Nabi adalah perjanjian yang berat (Q.S Al-Ahzab : 7), Allah juga menyebutkan aqad nikah antara dua orang anak manusia sebagai "Mitsaqon gholizho". Karena janganlah pasangan suami istri dengan begitu mudahnya mengucapkan kata cerai.

Allah SWT menegur suami-suami yang melanggar perjanjian, berbuat dzalim dan merampas hak istrinya dengan firmannya : "Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali padahal kalian sudah berhubungan satu sama lain sebagai suami istri. Dan para istri kalian sudah melakukan dengan kalian perjanjian yang berat "Mitsaqon gholizho"." (Q.S An-Nisaa : 21).

Aqad nikah dapat menjadi sunnah, wajib, makruh ataupun haram, hal ini disebabkan karena :

I. Sunnah, untuk menikah bila yang bersangkutan :

a. Siap dan mampu menjalankan keinginan biologi,
b. Siap dan mampu melaksanakan tanggung jawab berumah tangga.

II. Wajib menikah, apabila yang bersangkutan mempunyai keinginan biologi yang kuat, untuk menghindarkan dari hal-hal yang diharamkan untuk berbuat maksiat, juga yang bersangkutan telah mampu dan siap menjalankan tanggung jawab dalam rumah tangga. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S An-Nur : 33

III. Makruh, apabila yang bersangkutan tidak mempunyai kesanggupan menyalurkan biologi, walo seseorang tersebut sanggup melaksanakan tanggung jawab nafkah, dll. Atau sebaliknya dia mampu menyalurkan biologi, tetapi tidak mampu bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban dalam berumah tangga.

IV. Haram menikah, apabila dia mempunyai penyakit kelamin yang akan menular kepada pasangannya juga keturunannya.

Sebaiknya sebelum menikah memeriksakan kesehatan untuk memastikan dengan benar, bahwa kita dalam keadaan benar-benar sehat. Apabila yang mengidap penyakit berbahaya meneruskan pernikahannya, dia akan mendapat dosa karena dengan sengaja menularkan penyakit kepada pasangannya.

Bagi mereka yang melaksanakan pernikahan dalam keadaan wajib dan sunnah, berarti dia telah melaksanakan perjanjian yang berat. Apabila perjanjian itu dilanggar, Allah akan mengutuknya.

Apabila perjanjian itu dilaksanakan dengan tulus, kita akan dimuliakan oleh Allah SWt, dan ditempatkan dalam lingkungan kasih Allah.

Lalu apa yang harus dilakukan keduanya (suami-istri) dalam mengarungi bahtera rumah tangga? Bila suatu pernikahan dilandasi mencari keridhaan Allah SWT dan menjalankan sunnah Rosul, bukan semata-mata karena kecantikan fisik atau memenuhi hasrat hawa nafsunya, maka Allah akan menjamin kehidupan rumah tangga keduanya yang harmonis, penuh cinta, dan kasih sayang, seperti firman Allah dalam Q.S Ar-Rum : 21, sebagaimana yang sering kita dengar.

"Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir". (Ar-Ruum : 21)
Keterangan :

-           Istri-istri dari jenismu sendiri (berpasang pasangan), yaitu mempunyai ukuran yang sama, ukuran dalam bidang tujuan, ilmu, rohani, dll. Serta masing-masing dapat dengan baik memahami fungsinya, serta menjalankan kewajiban dan haknya dengan baik. Suami sebagai imam dalam rumah tangga, dan istri sebagai wakilnya.
Masa awal berumah tangga, dimana kita harus dapat menyamakan pandangan dengan cara beradaptasi dengan pasangan masing-masing, serta meningggalkan sifat individual.
-          Tentram, yaitu suatu masa berumah tangga dimana kita sudah saling memahami sifat pasangan masing-masing, serta mulai timbul perasaan tentram, seiring dan sejalan dalam mewujudkan tujuan berumah tangga.
-          Cinta, hal ini adalah tahap selanjutnya yang kita rasakan pada pasangan kita, dimana kita mencintai tidak hanya didasarkan atas keadaan fisik atau ekonomi semata, ataupun keadaan luar saja, tetapi telah timbul perasaan mencintai yang dalam, karena Allah SWT, yang tidak tergoyahkan oleh godaan-godaan yang ada.
-          Rahmah, adalah tahap akhir yang merupakan buah final dari semua perasaan, dimana pada tahap ini, kita benar-benar menjalankan pernikahan tanpa adanya halangan yang mengganggu, dan dapat terus berpasangan menuju ridho Allah SWT.
Tapi mengapa banyak sekali rumah tangga yang hancur berantakan padahal Allah telah menjamin dalam surat diatas? Hal ini tentunya ada kesalahan pada sang istri atau suami atau keduanya melanggar ketentuan Allah SWT.

Allah menanamkan cinta dan kasih sayang apabila keduanya menjalankan hak dan tanggung jawab karena Allah dan mencari keridhaan Allah, itulah yang akan dicatat sebagai ibadah.
"Perjanjian Berat" Ijab Qobul, juga sebagai pemindahan tanggung jawab dari orang tua kepada suami. Pengantin laki-laki telah menyatakan persertujuannya atau menjawab ijab qobul dari wali pengantin perempuan denga menyebut ijab qobulnya. Itulah perjanjian yang amat berat yang Allah SWT ikut dalam pelaksanaannya. Hal ini sering dilupakan pasangan suami istri dan masyarakat.

Tanggung jwab yang berpindah tangan. Tanggung jawab wali terhadap seorang wanita yang dipindahkan kepada seorang laki-laki yang menikahi wanita tersebut, antara lain:
1.      Tanggung jawab memberi nafkan yang secukupnya, baik lahir maupun batin,
2.      Tanggung jawab menyediakan tempat tinggal yang selayaknya,
3.      Mendidik akhlak dan agama dengan baik,
4.      Mengayomi, melindungi kehormatan dan keselamatan istrinya.

Setelah ijab qobul, suami menjadi pemimpin dalam rumah tangga yang akan menentukan corak masa depan kehidupan dalam rumah tangganya (suami sebagai imam).

Dengan aqad nikah, Allah SWT memberikan kehormatan kepadanya untuk menjalankan misi yang mulia.


Bismillahirrochmaanirrochiim.

1. Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Allah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya dan dari pada keduanya Allah memeperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (An-Nisaa : 1)
2. Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunianya. Dan Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui. (An-Nuur : 32)
3. Dan orang-orang yang tidak mampu berkawin hendaklah menjaga kesucian(dari)nya. Sehingga Allah memampukan mereka dengan karuniaNya. (An-Nuur : 33)
4. Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar-Ruum : 21)
5. Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhammu Maha Kuasa. (Al-Furqaan : 54)
6. Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu, dari padanya Dia menciptakan istrinya agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya istrinya itu mengandung kandungan yang ringan dan teruslah dia merasa ringan. Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah Tuhannya seraya berkata "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". (Al-Araaf :189)
7. Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan bertambah. Dan segala sesuatu pada sisiNya ada ukurannya. (Ar-Rad : 8)
8. Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapapun yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak laki-laki kepada siapapun yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugrahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang Dia kehendaki) dan Dia menjadikan mandul siapa saja yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (Asy-Syuura : 49-50)

Hukum Pidana Islam


A. PENGERTIAN JINAYAH
Kata Jinaayaat adalah bentuk jamak dari kata jinaayah, yang berarti perbuatan dosa, kejahatan atau pelanggaran. Bab Al-jinayah dalam fiqih Islam membicarakan bermacam-macam perbuatan pidana (jarimah) dan hukumnya.
Hukum had adalah hukuman yang telah dipastikan ketentuannya dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul.
Hukum ta’zir adalah hukuman yang tidak dipastikan ketentuannya dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hukum ta’zir menjadi wewenang penguasa untuk menentukannya.
B. JENIS JARIMAH
Hukum pidana Islam mengenal empat macam jarimah, ditinjau dari berat- ringannya macam hukuman yang diancamkan, yaitu:
1.      Jarimah Qisas, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman qisas. Qisas adalah hukuman yang sama dengan jarimah yang dilakukan. Yang termasuk jarimah ini ialah pembunuhan dengan sengaja dan penganiayaan dengan sengaja yang mengakibatkan terpotongnya atau terlukanya anggota badan.
2.      Jarimah Diyat, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman diyat, Diyat adalah hukuman ganti rugi atas penderitaan yang dialami si korban atau keluarganya, yang termasuk jarimah ini ialah pembunuhan tak disengaja yang mengakibatkan terpotongnya atau terlukanya anggota badan.
3.      Jarimah Hudud, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman had. Had adalah hukuman yang telah ditentukan dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul dan telah pasti macamnya serta menjadi hak Allah. tidak dapat diganti dengan macam hukuman lain atau dibatalkan sama sekali oleh manusia. Yang termasuk jarimah ini ialah pencurian (al-Sariqah), perampokan (al-Hirabah), pemberontakan (al-Bughat), zina (al-Zina), menuduh zina (al-Qadaf), minum-minuman keras (al-Sakr) dan Murtad (al-Riddah).
4.      Jarimah Ta’zir, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Jarimah ta’zir adalah hukuman yang tidak dipastikan ketentuannya dalam nash al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Jarimah ta’zir ada yang disebutkan dalam nash, tetapi macam hukumannya diserahkan kepada penguasa untuk menentukannya, dan ada jariamah yang macam maupun hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.




C. UNSUR-UNSUR JARIMAH
Suatu perbuatan dapat dipandang sebagai jarimah jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Unsur Formal, yaitu adanya nash atau ketentuannya yang menunjukkannya sebagai jarimah. Jarimah tidak akan terjadi sebelum dinyatakan dalam nash. Alasan harus ada unsur ini antara lain firman Allah dalam QS. al-Isra`: 15 yang mengajarkan bahwa Allah tidak akan menyiksa hamba-Nya sebelum mengutus utusan-Nya. Ajarannya ini berisi ketentuan bahwa hukuman akan ditimpakan kepada mereka yang membangkang ajaran Rasul Allah. Khusus untuk jarimah ta’zir, harus ada peraturan dan undang-undang yang telah dibuat oleh penguasa.
2. Unsur Material, yaitu adanya perbuatan melawan hukum yang benar-benar telah dilakukan. Hadist Nabi riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah mengajarkan bahwa Allah melewatkan hukuman untuk umat Nabi Muhammad saw atas sesuatu yang masih terkandung dalam hati, selagi ia tidak mengatakan dengan lisan atau mengerjakan dengan nyata.
3. Unsur Moral, yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat jarimah. Unsur ini menyangkut tanggung jawab pidana yang hanya dikenakan atas orang yang telah baligh, sehat akal dan ikhtiyar (berkebebasan berbuat).
D. SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM
Hukum Pidana Islam adalah bagian dari hukum Islam maka apabila hukum Islam bersumber dari al-Qur’an, hadits, Ijmak, Qiyas dan beberapa sumber yang diperselisikan, seperti: Ikhtisan, Istimbat, Marsihah, Urf, mazhab sahabat dan syariat sebelum Islam, maka hukum pidana Islam pun bersumber dari sumber-sumber tersebut. Tetapi pada umumnya bagi hukum pidana Islam formil, maka kesemua sumber diatas bisa dipakai, sedangkan untuk hukum materiel, hanya 3 sumber sudah disepakati, sedangkan Qias masih diperselisihkan.
E. AZAS LEGALITAS HUKUM PIDANA ISLAM
Dalam hukum pidana Islam tentu saja tidak ada istilah asas legalitas. Namun ternyata hukum pidana Islam juga mengenal prinsip-prinsip yang terkandung pada asas legalitas yakni disebutkan dalam al-Qur’an Surat al-Isra’ ayat 15:
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan meng’azab sebelum kami mengutus seorang Rasul”.


Menurut ayat ini, sebelum Allah mengutus seorang Rasul yang menjelaskan tentang perintah dan larangan , maka Allah tidak akan menghukum hambanya yang melakukan suatu perbuatan. Dengan kata lain, sebelum ada ketentuan yang melarang suatu perbuatan, maka perbuatan tersebut tidak dipandang sebagai perbuatan pidana, dan dengan demikian pelakunya tidak mendapat hukuman. Hal tersebut sesuai dengan asas legalitas yang dianut hukum positif di Indonesia. Sebagai contoh, pada al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 22 Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”
Dahulu masyarakat Arab mempunyai kebiasaan mengawini bekas isteri ayahnya yang telah diceraikan dianggap hal yang biasa, namun setelah turunnya ayat tersebut di atas, maka hal tersebut dilarang. Namun pada ayat di atas ada kalimat “terkecuali pada masa yang telah lampau”, itu artinya orang yang telah melakukan sebelum ada peraturan yakni ayat tersebut diturunkan, maka perbuatan mengawini bekas isteri ayah tidak dianggap dosa. Hal tersebut menegaskan bahwa jauh sebelum hukum positif mengenal asas legalitas, hukum Islam telah lebih dahulu menerapkan asas legalitas dalam penetapan hukum, hanya saja istilah asas legalitas memang belum dikenal pada masa itu namun sama pada prinsipnya.
F. GABUNGAN JARIMAH, TURUT SERTA BERBUAT JARIMAH, PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH, DAN BENTUK-BENTUK JARIMAH BESERTA UQUBAHNYA
Gabungan hukuman adalah serangkaian sanksi yang diterapakan kepada seorang apabila ia telah nyata melakukan jarimah (pidana) secara berulang-ulang dan antara perbuatan jarimah yang satu dengan yang lainnya belum mendapatkan putusan terakhir.
Para ulama berbeda pendapat mengenai gabungan jarimah, imam malik bin anas menyatakan bahwa apabila seseorang melakukan jarimah Qadzaf dan minum khamr lalu tertangkap maka hukumannya cukup satu yaitu delapan puluh kali jilid. Alasannya karena jenis dan tujuannya sama. Menurut imam Malik, Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hambal, hukuman mati itu menyerap semua jenis hukuman. Demikian pula bila kejahatannya berkenaan dengan hak Allah murni. Sedangkan jika kejahatan itu merupakan gabungan antara hak Allah dan hak Adami, maka hukuman yang dijatuhkan adalah hak Adami dulu baru kemudian hak Allah. Sedangkan imam Syafi’I berpendapat bahwa setiap jarimah tidak dapat digabungkan melainkan harus dijatuhi hukuman satu persatu.




Teori gabungan Jarimah
Gabungan jarimah di kalangan fuqaha
Teori tentang bergandanya hukuman sudah dikenal di kalangan fuqaha, tetapi teori tersebut dibatasi pula dengan dua teori yang lain, yaitu teori saling melengkapi (At-Tadakhul) dan teori penyerapan (Al-Jabbu)
Teori saling melengkapi ( At-Tadakhul)
Menurut teori ini, ketika terjadi gabungan jarimah, maka hukuman-hukumannya saling melengkapi, sehingga oleh karenanya itu semua semua perbuatan tersebut dijatuhi satu hukuman, seperti kalau ia memperkuat perbuatan. Teori ini didasarkan atas dua pertimbangan, yaitu:
pertama, meskipun perbuatan jarimah berganda, sedang semuanya adalah satu macam, seperti pencurian yang berulang kali atau fitnahan yang berulang kali, maka sudah sepantasnya kalau hanya dikenakan satu macam hukuman, selama belum ada keputusan hakim. Beberapa perbuatan dianggap satu macam selama objeknya adalah satu, meskipun berbeda-beda unsurnya serta hukumannya, seperti pencurian biasa dan gangguam keamanan (Hirabah). Alasan penjatuhan satu hukuman saja adalah bahwa pada dasarnya suatu hukuman dijatuhkan untuk maksud memberikan pengajaran (ta’dib) dan pencegahan terhadap orang lain (zajru), dan kedua tujuan ini dapat dicapai dengan satu hukuman selama cukup membawa hasil. Namun, kalau diperkirakan pembuat akan kembali melakukan perbuatan-perbuatannya, maka kemungkinan ini semata-mata tidak cukup, selama belum jadi kenyataan bahwa hukuman tersebut tidak cukup menahannya. Baru setelah mengulangi perbuatannya sesudah mendapat hukuman, maka ia dijatuhi hukuman lagi, karena hukuman yang pertama ternyata tidak berpengaruh.
kedua, meskipun perbuatan-perbuatan yang dilakukan berganda dan berbeda-beda macamnya, namun hukuman-hukumannya bisa saling melengkapinya dan cukup untuk satu hukuman yang dijatuhkan untuk melindungi kepentingan yang sama. Seseorang misalnya makan bangkai, darah dan daging babi, maka atas ketiga perbuatan ini dijatuhi satu hukuman, karena hukuman-hukuman tersebut dijatuhkan untuk mencapai satu tujuan, yaitu melindungi kesehatan perseorangan dan masyarakat.
Teori penyerapan (Al-Jabbu)
Yaitu menjatuhkan suatu hukuman, dimana hukuman-hukuman yang lain tidak dapat dijatuhkan. Hukuman tersebut dalam hal ini tidak lain adalah hukuman mati, dimana pelaksanaannya dengan sendirinya menyerap hukuman-hukuman lain. Teori ini dikemukakan oleh beberapa ulama diantaranya Imam Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad.

Menurut Imam Malik, apabila hukuman had berkumpul dengan hukuman mati karena Tuhan, seperti hukuman mati Karena jarimah murtad, atau berkumpul dengan hukuman mati karena qisash bagi seseorang lain, maka hukuman had tersebut tidaj dapat dijalankan karena hukuman mati tersebut menyerapnya, kecuali hukuman memfitnah saja (qadzaf) yang tetap dilaksanakan, dengan cara di-jilid dahulu delapan puluh kali, kemudian dihukum mati.
Menurut Imam Ahmad, apabila terjadi dua jarimah hudud, seperti mencuri dan zina bagi orang-orang muhshan, atau minum dan mengganggu keamanan (hirabah) dengan membunuh, maka hanya hukuman mati saja yang dijalankan, sedang hukuman-hukuman lain gugur. Kalau hukuman hudud berkumpul dengan hak-hak adami, dimana salah satunya diancam hukuman mati, maka hak-hak adami tersebut harus dilaksanakan terlebih dahulu, dan hak-hak Allah diserap oleh hukuman hukuman mati.
Bagi Imam Abu Hanifah, pada dasarnya apabila terdapat gabungan hak mannusia dengan hak-hak Allah, maka hak manusialah yang harus didahulukan, karena ia pada umumnya ingin lekas mendapatkan haknya. Kalau sesudah pelaksanaan hak tersebut hak Allah tidak bisa dijalankan lagi, maka hak tersebut hapus dengan sendirinya.
Pendapat Imam Syafi’I
Bagi Imam Syafi’i tidak ada teori penyerapan (al-jabbu), melainkan semua hukuman harus dijatuhkan selama tidak saling melengkapi (tadakhul). Caranya ialah dengan mendahulukan hukuman bagi hak-hak adami yang bukan hukuman mati, kemudian hukuman bagi hak Allah yang bukan hukuman mati kemudian lagi hukuman mati.
Teori hukum positif
pertama, teori berganda (cumulatie) yang dipegangi oleh hukum pidana Inggris. Menurut teori ini pembguat mendapat semua hukuman yang dittetapkan untuk tiap-tiap jarimah yang diperbuatnya. Kelemahan teori ini adalah terlalu banyaknya hukuman yang dijatuhkan. Hukuman penjara misalnya adalah hukuma sementara, tetapi bila digabung-gabungkan, maka akan menjadi hukuman seumur hidup.
kedua, teori penyerapan (absorptie), menurut teori ini hukuman yang lebih berat menghapuskan hukuman-hukuman yang lebih ringan. Kelemahan teori ini adalah bahwa memberikan peluang pada pembuat untuk (kembali) memperbuat jarimah-jarimah lain yang lebih ringan.
ketiga, teori campuran yang dimaksudkan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan kedua cara yang sebelumnya menurut teori gabungan tersebut, hukuman-hukuman bisa digabunngkan, asal hasil gabungan tidak melebihi batas tetentu, dan dengan batas tertentu ini dimaksudkan agar dapat terhindar keterlaluan dalam penjatuhan hukuman


Turut serta berbuat jarimah
Suatu jarimah adakalanya diperbuat oleh seorang diri dan adakalanya oleh beberapa orang. Apabila diperbuat oleh beberapa orang, maka bentuk-bentuk kerjasama antara mereka tidak lebih dari empat, yaitu:
- Pembuat melakukan jarimah bersama-sama orang lain ( memberikan bagiannya dalam melaksanakan jarimah). Artinya secara kebetual melakukan bersama-sama.
- Pembuat mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melaksanakan jarimah.
- Pembuat menghasut orang lain untuk memperbuat jarimah.
- Memberi bantuan atau kesempatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara, tanpa turut berbuat.
Pada KUHP Indonesia, pasal 55, kita dapati bentuk-bentuk kerjasama dalam melaksanakan jarimah, yaitu: melakukan, menyuruh melakukan, turut melakukan, dan menghasut, yang dijatuhi hukuman sebagai pembuat.
Sementara itu tentang hal ini para fuqaha hanya membicarakan hukum “turut-berbuat-langsung” yang disebut dalah istilah fuqaha Isytirak Mubasyir. Sedang hukum “turut-berbuat-tidak langsung” atau Isytirak Ghairu Mubasyir boleh dikata tidak disinggung-singgung. Hal ini mungkin disebabkan oleh aturan syari’at islam bahwa hukuman yang telah ditentukan hanya dijatuhkan atas orang yang turut-berbuat langsung, bukan atas orang yang turut-berbuat tidak langsung dan aturan tersebut diterapkan dengan teliti sekali oleh Imam Abu Hanifah.
Akan tetapi fuqaha selainnya mengecualikan jarimah pembunuhan dan penganiayaan dan ketentuan aturan umum tersebut yakni untuk kedua macam jarimah ini, baik pembuat langsung maupun yang tidak langsung dijatuhi hukuman. Alasannya karena kedua jarimah tersebut dapat dikerjakan secara langsung maupun tidak langsung, sesuai dengan sifat-sifat jarimah itu.
Jadi, pembuat tidak langsung apabila turut melakukan jarimah yang diancam hukuman tertentu maka tidak dikenakan dengan hukuman itu sendiri, sebab hukuman tersebut hanya diancamkan kepada pembuat langsung saja, akan tetapi dikenakan sebagai jarimah ta’zir.
Turut berbuat langsung
Pertama, orang yang memperbuat jarimah sendirian atau bersama-sama orang lain. Missal, jika masing-masing dari tiga orang mengarahkan tembakan kepada seseorang lalu seseorang tersebut mati karena tembakan itu, maka ketiga orang tersebut dianggap melakukan pembunuhan. Demikian juga dalam hal pencurian berjama;ah. Dalam hal ini fuqaha juga memisahkan apakah kerjasama itu dilakukan secara kebetulan (tawafuq) atau memang sudah direncanakan bersama-sama (tamalu). Menurut kebanyakan fuqaha ada perbedaan pertanggungjawaban peserta antara tawafuq dan tamalu. Pada tawafuq, masing-masing peserta hanya bertanggungjawab atas akibat perbuatannya saja, dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain. Akan tetapi pada tamalu, para peserta harus mempertanggungjawabkan akibat perbuatannya sebagai keseluruhan. Jika korban mati maka masing-masing peserta dianggap sebagai pembunuh.
Menurut Abu Hanifah, antara tawafuq dan tamalu sama saja hukumannya, yaitu masing-masing peserta hanya bertanggungjawab atas atas perbuatannya sendiri.
Kedua, juga dipandang sebagai turut-berbuat-langsung peserta yang menjadi sebab (tidak langsung), apabila pembuat-langsung hanya kaki tangannya semata-mata. Misalnya jika seseorang menyuruh anak dibawah umur untuk membunuhu orang lain, kemudian suruhan itu dilaksanakan, maka menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad orang yang menyuruh itu dipandang sebagai pembuat-langsung karena orang yang disuruh hanya merupakan alat semata-mata. Akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah, orang yang menyuruh tersebut tidak dianggap sebagai pembuat-langsung, kecuali jika suruhannya itu merupakan paksaan bagi orang yang melaksanakan. Namun demikian di kalangan hukum positif dan sarjana hukum-hukum positif belum ada kesepakatan tentang apakah kawan berbuat-tidak-langsung dapat dianggap sebagai pembuat langsung.
Turut-berbuat-tidak langsung
Yaitu setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain, atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan. Adapun unsure-unsur turut-berbuat-tidak langsung adalah sebagai berikut:
·         Unsure pertama, perbuatan di mana kawan berbuat-tidak langsung memberi bagian dalam pelaksanaannya, tidak diperlukan harus selesai dan juga tidak diperlukan bahwa pembuat asli harus dihukum pula. Jadi pembuat tidak langsung dapat dihukum meskipun pembuat asli (langsung) tidak dihukum (karena masih dibawah umur, dsb).
·         Unsure kedua, dengan persepakatan atau hasutan atau bantuan, yang dimaksud oleh kawan berbuat-tidak langsung untuk terjadinya jarimah tertentu.

Percobaan melakukan jarimah
Teori tentang jarimah “percobaan” tidak kita dapati di kalangan fuqaha, bahkan istilah “percobaan” dengan teknis yuridis juga tidak dikenal oleh mereka. Apa yang mereka bicarakan adalah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah yang belum selesai. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi teori tentang “percobaan” . Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu:

Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisash, melainkan dengan hukum ta’zir, bagaimanapun macam jarimah itu. Para fuqaha lebih banyak memberikan perhatiannya kepada jarimah hudud dan qisash diyat.
Dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari syara’ tentang hukuman jarimah ta’zir, maka aturan-aturan khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas setiap perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kafarat. Pencuri misalnya apabila telah melobangi dinding rumah, kemudian dapat ditangkap sebelum sempat memasukinya, maka perbuatannya itu semata-mata dianggap maksiat yang bisa dijatuhi hukuman meskipun sebenarnya baru merupakan permulaan dari pelaksanaan jarimah pencurian.
Menurut KUHP Indonesia percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat dihukum (pasal 54). Sesuai dengan pendirian syara’, maka pada peristiwa penganiayaan dengan maksud membunuh, apabila tidak mengenai sasaran, maka perbuatan itu disebut maksiat dan hukumannya adalah ta’zir.
Fase-fase pelaksanaan jarimah
Fase pemikiran dan perencanaan. Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan dalam syari’at islam, seseorang tidak dapat dituntut karena lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam hatinya. Sesuai dengan sabda Rasullullah saw:
“Tuhan memaafkan umatku dari apa yang dibisikkan atau dicetuskan oleh dirinya, selama ia tidak berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya dituntut karena kata-kata yang diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya.”
Fase persiapan. Menyiapkan alat-alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti membeli senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap makisiat yang dapat dihukum, kecuali apabila persiapan itu sendiri dipandang sebagai maksiat, seperti hendak mencuri milik seseorang dengan jalan membiusnya. Dalam contoh ini membeli alat bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap maksiat yang dihukum, tanpa memerlukan kepada selesainya maksud yang hendak dituju yaitu mencuri.
Fase pelaksanaan. Pada fase inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dapat dihukum, tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan unsure materil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa maksiat, yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsure materil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsure materil masih terdapat beberapa langkah lagi.


Hukuman “percobaan”
Menurut aturan syari’at islam, untuk jarimah-jarimah hudud dan qisash, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai. Aturan tersebut berdasarkan hadis Nabi saw: “ siapa yang mencapai hukuman had bukan pada jarimah hudud maka dia adalah orang yang menyeleweng”. Oleh karena itu percobaan melakukan zina tidak boleh dihukum dengan hukuman yang dijatuhkan atas dasar perbuatan zina sendiri yaitu rajam dan jilid.
Bentuk jarimah dan uqubahnya
Jarimah itu dapat dibagi menjadi beberapa macam dan jenis sesuai dengan aspek yang ditonjolkan. Para ulama membagi jarimah berdasarkan sapek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya di Al-Quran atau Hadis. Mereka membaginya menjadi tiga macam:
Jarimah hudud Meliputi :
-          Perzinahan, Hukumannya adalah:
Zina Ghair Muhshan : Dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun.
Zina Muhshan : Dera seratus kali dan rajam
Qadzaf, hukumannya adalah:Hukuman pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak delapan puluh kali.
Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya.

-          Minum khamr, hukumannya adalah:
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah : Hukumannya adalah dera delapan puluh kali.
Imam Syafi’I dan satu riwayat dari Imam Ahmad : hukumannya adalah dera empat puluh kali.
Pencurian, hukumannya adalah: hukuman potong tangan.

-          Perampokan, hukuamnya adalah :
Hirabah menakut-nakuti : pengasingan (al-maidah:33)
Hirabah mengambil harta tanpa membunuh: dipotong tangan dan kakinya dengan bersilang, yaitu dipotong tangan kanan dan kaki kirinya (Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, dan Syi’ah Zaidiyah), sedangkan menurut Zhahiriah hukumannya adalah ta’zir.

-          Hirabah membunuh tanpa mengambil harta :
hukuman mati sebagai hukuman had tanpa disalib (Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad dalam suatu riwayat), namun menurut Imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah, disamping dibunuh juga disalib.



Hirabah membunuh dan mrngambil harta : dibunuh dan disalib tanpa dipotong tangan dan kaki ( Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Syi’ah Zaidiyah, Ima Abu Yusuf, dan Imam Muhammad), sementara itu yang lain menyatakan hukumannya adalah diserahkan kepada hakim untuk memilih apakah potong tangan dan kaki lalun dibunuh atau disalib, dibunuh tanpa disalib dan tanpa potong tangan dan kaki, atau disalib kemudian dibunuh (Imam Abu Hanifah).

-          Pemberontakan, hukumannya adalah:jika membunuh orang sebelum terjadinya pemberontakan, maka dibunuh, jika mencuri diberlakukan hukuman pencurian, apabila merampas hak orang lain maka dikenakan ganti rugi, dsb.

Murtad, hukumannya adalah :
Hukuman pokok : yaitu hukuman mati dan statusnya sebagai hukuman had.
Hukuman pengganti : yaitu, jika bertobat, maka diganti dengan hukuman ta’zir. Jika hukuman pokok gugur karena syubhat, maka dipenjara dan diusahakan kembali ke diinul hak.
Jarimah qishash atau diyat
Meliputi: pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena kesalahan, pelukaan sengaja, pelukaan semi sengaja. Hukumannya adalah dibunuh jika membunuh, dsb.
Jarimah ta’zir
Jarimah ini terbagi menjadi tiga bagian:
Jarimah hudud atau qisash diyat yang syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat. Misalnya, percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, dll.
Jarimah yang ditentukan oleh Al-Quran dan Hadis namun tidak ditentukan sanksinya. Missal, saksi palsu, penghinaan, dll.
–>Jarimah yang ditentukan oleh ulil amri untuk kemaslahatan umum. Dalam hal ini nilai ajaran islam dijadikan pertimbangan penentuan kemashlahatan umum. Misalnya pelanggaran atas peraturan lalu lintas.
Hukumannya diserahkan pada hakim sesuai dengan perbuatannya.




G. HUKUMAN
1. Pengertian Hukuman
Hukuman dalam Bahasa Arab disebut ‘Uqubah. Lafaz ini menurut bahasa berasal dari ‘Aqabah yang sinonimnya: Khalafahu wajaa’a Biaqabihi artinya mengiringya dan datang dari belakangnya. dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati istilah barangkali lafaz tersebut bisa di ambil dari lafaz Aqabah yang sinonimnya Jazaahu Sawaan bimaa Fa’ala artinya membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang meyimpang yang telah dilakukan,
Dalam bahasa Indonesia hukuman diartikan sebagai “Siksa dan sebagainya” atai “ Keputusan yang dijatuhkan Hakim”
Dalam hukum positif di Indonesia istilah hukuman hampir sama dengan pidana walaupun sebenarnya seperti apa yang dikatakan oleh Wirjono Projodikoro kata hukuman sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata pidana, oleh karena ada istilah hukuman pidana dan hukuman perdata seperti misalnya ganti rugi.

Menurut Hukum Pidana Islam hukuman adalah seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah sebagai berikut:
Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentinan masyarakat karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara.
2. Tujuan Hukuman
Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ialah pencegahan (ar’radu waz zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-Islah wat Tahdsib). Pengertian pencegahan ialah ialah menahan pembuat agar tidak mengulangi perbuatan jarimah atau ia tidak terus menerus memperbuatnya, disamping pencegahan terhadap orang lain selain pembuat agar tidak memperbuat jarimah sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan terhadap orang yang memperbuat pula perbuatan yang sama.
Dengan demikian maka kegunaan pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan terhadap pembuat sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya dan menahan orang lain untuk tidak memperbuatnya pula dan menjauhkan diri dari lingkungan jarimah. Oleh karena itu tujuan hukuman adalah pencegahan maka besarnya hukuman harus sesuai dan cukup mampu mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, dengan demikian terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Apabil kondisinya demikian maka hukuman terutama Ta’zir dapat berbeda-beda sesuai dengan perdedaan pelakunya.
Tujuan yang kedua perbaikan dan pendidikan adalah mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahan. Di sini dapat dilihat bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap diri pelakunya. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena akan hukuman melainkan kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat Ridha Allah SWT.
Disamping kebaikan dan pendidikan dalam syari’at Islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi oleh rasa saling menghormati dan mencintai sesama anggotanya dengan mengetahui batas hak dan kewajibannya. Pada hakekatnya suatu jarimah adalah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan serta membangkitkan kemarahan masyarakat terhadap pembuatnya. Dengan demikian akan terwujud rasa keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.
3. Macam-macam Hukuman
Setelah kami membaca dari beberapa literatur terdapat beberapa penggolongan tentang macam-macam hukuman dapat disimpulkan bahwa macam-macam hukuman dalam Hukum Pidana Islam ialah sebagai berikut:
a.       Hukuman Hudud ialah hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud yang telah ditetapkan oleh Allah.
b.      Hukuman Qishas dan diat yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman qishas dan diat tetapi hukuman ini adalah Hak manusia.
c.       Hukuman Kifarat ialah hukuman yang ditetapkan untuk sebagian jarimah qishas dan diat dan beberapa jarimah ta’zir.
d.      Hukuman ta’zir yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah ta’zir.

4.Syarat-syarat Hukuman

Agar hukuman itu diakui keberadaanya maka harus dipenuhi tiga syarat di antaranya sebagai berikut:
a. Hukuman Harus ada Dasarnya dari Syara’
Hukuman dianggap mempunyai dasar “ Syari’iyah” apabila di dasarkan kepada sumber-sumber syara seperti al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma atau Undang-undang yang telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang “Ulil Amri” seperti dalam hukuman ta’zir. Dalam hukuman ditetapkan oleh Ulil Amri maka disyaratakn tidak boleh bertetangan dengan ketentuan syara’.

Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri walaupun ia berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan lebih utama daripada hukuman yang telah ditetapkan.





b. Hukuman Harus bersifat Pribadi

Hukuman disyaratkan harus bersifat pribadi atau perorangan. Ini tidak mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Syarat ini merupakan salah satu dasar dan prinsip yang ditegakkan oleh syari’at Islam.

c. Hukuman Harus Bersifat Umum

Hukuman juga disyaratkan harus berlaku umum. Ini mengandung arti bahwa hukuman harus berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi apapun pangkat, jabatan, status dan kedudukannya didepan hukum semua status sama, tidak perbedaan yang kaya dan miskin, antara pejabat dengan rakyat biasa antara bangsawan dan rakyat jelata.

5.        Pengguguran Hukuman
Pada dasarnya yang dimaksud dengan gugurnya hukuman di sini adalah tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau diputuskan hakim, berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan hukuman yang sudah tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya telah lewat.

Adapun sebab-sebab gugurnya hukuman ialah:

a. Meninggalnya Pelaku
b. Hilangnya Anggota badan yang akan di Qishas
c. Tobatnya pelaku
d. Perdamaian
e. Pengampunan
6. Sebab-sebab Hapusnya Hukuman
Pada dasarnya sebab-sebab hapusnya hukuman bertalian dengan keadaan diri pembuat, sedang sebab kebolehan sesuatu yang bertalian dengan keadaan perbuatan itu sendiri. Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah sebagai berikut:
a.       Paksaan
Beberapa pengertian yang telah diberikan oleh para fugaha tentang paksaan.Pertama paksaan ialah suatu perbuatan yang diperbuat oleh seseorang karena orang lain dan oleh karena itu hilang kerelaannya atau tidak sempurna lagi pilihannya. Kedua paksaan ialah suatu perbuatan yang ke luar dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk melakukannya perbuatan yang diperintahkan. Ketiga paksaan merupakan ancaman atas seorang dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakaannya. Ke empat paksaan ialah apa yang diperintahkan seorang pada orang lain yaitu membahayakan dan menyakitinya.



b.      Mabuk
Syari’at Islam melarang minuman Khamar baik sampai mengakibatkan mabuk atau tidak. Minum khamar termasuk jarimah hudud dan dihukum dengan delapan puluh jilid sebagai hukuman pokok.

Mengenai pertanggung jawab pidana bagi orang yang mabuk maka menurut pendapat yang kuat dari empat kalangan mazhab fiqhi ialah bahwa dia tidak dijatuhi hukuman atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya, jika ia dipaksa atau secara terpaksa atau dengan kehendak sendiri tapi tidak mengetahui bahwa apa yang diminumnya itu bisa mengakibatkan mabuk.

c. Gila
Seseorang dipandang sebagai orang Mukallaf oleh Syari’at Islam artinya dibebani pertanggungjawaban pidana apabila ia adalah orang yang mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan memilih (idrak dan ikhtiar). Apabila salah satu dari kedua perkara itu tidak ada maka hapus pula pertanggung jawab tersebut. Oleh karena itu Orang Gila tidak dikenakan hukum Jarimah karena ia tidak mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan meilih dalam bahasa Arab disebut juga Junun atau Gila.

c.    Di Bawah Umur

Konsep yang dikemukakan oleh Syari’at Islam tentang pertanggung jawab anak belum dewasa merupakan Konsep yang baik sekali dan meskipun telah lama usianya, namun menyamai teori terbaru di kalangan hukum positif.

Menurut Syari’at Islam pertanggung jawab pidana didasarkan atas dua perkara yaitu ketentuan berpikit dan pilihan iradah dan ikhtiar. Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut masa yang dilalui hidupnya mulai dari waktu kelahirannya sampai memiliki kdua perkara tersebut