Rabu, 04 Mei 2011

Pembagian Waris Di Luar Persidangan


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Bangsa yang sedang membangun, seperti Indonesia, hukum sebaiknya dikaitkan dengan upaya untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik dari pada yang telah dicapai sebelumnya. Kenyataan yang lebih baik ini, peranan hukum semakin menjadi penting dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan. Fungsi hukum dalam pembangunan tidak sekedar sebagai alat pengendalian sosial (social control), tetapi lebih dari itu, yakni melakukan upaya untuk menggerakkan masyarakat agar berprilaku sesuai dengan  cara-cara baru untuk mencapai suatu keadaan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan. Dengan demikian, fungsi hukum disini adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat, berarti hukum digunakan untuk mengarahkan masyarakat pada pola-pola tertentu sesuai dengan yang dikehendaki, juga berarti mengubah atau menghapus kebiasaan-kebiasaan terdahulu yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Hukum, selain bersifat memaksa (dwingen) juga bersifat mengatur (relegend). Dalam lapangan hukum perdata pada umumnya hukum bersifat mengatur. Sedang untuk mencapai tujuan hukum itu, hukum harus difungsikan dan dilaksanakan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam masyarakat.
Hukum kewarisan adalah salah satu bagian dari hukum perdata dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian kecil dari hukum keluarga. Hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum dengan terjadinya hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia terhadap orang-orang yang telah meninggal dunia terhadap orang-orang  yang termasuk keluarga yang ditnggalkan. Penjelasan hak-hak dan kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang inilah yang diatur oleh hukum kewarisan. Hukum kewarisan memuat peraturan tentang berbagai hal yang mencakup dengan hak dan mengenai kekayaan seseorang pada saat meninggal dunia akan beralih pada orang lain yang masih hidup (Wiryono Prodjodikoro, 1986 : 13).
Hukum kewarisan Islam semula sebagai kaedah agama Islam atau kaedah sosial, yang belum tersosialisasi dan terimplementasi dalam wujud pelaksanaannya di masyarakat muslim. Pada masa sekarang ini pemerintah telah melembagakan sebagai keadaan hukum yang berlaku secara positif, dan dibentuk suatu lembaga yang khusus untuk penegakannya, yaitu lembaga peradilan agama.
Pelaksanaan Hukum Warisan Islam adalah manifestasi dari nilai-nilai iman seseorang muslim yang memiliki ketaatan terhadap ajaran agamanya sebagaimana yang telah ditentukan oleh Tuhan penciptanya. Dikatakan taat apabila ia melaksanakan nilai-ilai iman itu secara keseluruhan dan konsisten sebagai yang diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah serta hasil ijma’ atau ijtihad para ulama. Di antara seluruh ketentuan Allah SWT. Dalam Al-Qur’an yang harus dilaksanakan oleh umat Islam adalah Hukum Kewarisan Islam, dengan memperhatikan peringatan Allah SWT. Dalam Surah An-Nisa’ ayat 65 yang terjemahannya :
“Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.

Hukum Kewarisan Islam adalah aspek ajaran Islam yang azasi dan berlaku secara unviersal bagi setiap muslim untuk mewujudkan dala kehidupan sosial. Sebagai ajaran yang universal, Hukum Kewarisan Islam mengandung nilai-nilai abadi dan unsur-unsur yang berguna untuk senantiasa siap mengatasi setiap masalah sesuai dengan kondisi, ruang lingkup dan waktu. Oleh karena itu, tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi ummat manusia.
Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam adalah perintah, sesuai harits Rasulullah SAW, dalam riwayat ahmad, An-Nisa’ I dan Ad-Daruquni, yang artinya :
“Pelajarilah oleh kamu sekalian A-Qur’an dan ajrkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah manusia yang bakal terenggung (kematian), sedangkan ilmu akan dihilangkan. Hampir dua orang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorangpun yang dapat memberi fatwa kepada mereka”
(terjemahan Ahmad Rofiq, 1993 : 358)
hadist tersebut mengisyaratkan keprihatinan Rasulullah SAW, bahwa dalam pembagian warisan atas harta si pewaris tidak jarang pemicu terjadinya pertengkaran. Makanya Islam berkepentingan untuk mengatur agar misi ajaranya dapat memberi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi pemeluknya. Sejauh mana Hukum Warisan Islam dapat dipahami dan dapat diwujudkan rasa keadilan, adalah suatu hal yang menuntut kearifan tersendiri.
Seluruh hukum yang ada berlaku dewasa ini, maka hukum kewarisan adalah bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang peranan sangat penting dalam masyarakat itu (Hazairin, 1974 : 9). Hal ini disebabkan hukum kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia,  bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat melahirkan rumusan masalah “Bagaimanakah penyelesaian pembagian warisan di luar pengadilan ?”.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Tinjauan Pustaka
1.   Pengertian Hukum Kewarisan Islam
sistem hukum kewarisan Islam adalah hukum kewarisan yang diatur dalam Al-qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Ijtihad. Pewarisan menurut sistem hukum kewarisan islam adalah proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia, baik berupa hak-hak kebendaan maupun hak-haklainnya kepada ahli warisnya yang dinyatakan berhak oleh hukum.
Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa “Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tenteng pemindahan hak pemilikanharta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”
Idris Djakfar (1995 : 4) memberikan pula pengertian hukum kewarisan Islam adalah : “seperangkat aturan-aturan tentang perpindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris, mengatur kedudukan ahli waris yang berhak dan berapa bagian-bagiannya masing-masing secara adil dan sempurna sesuai dengan ketentuan syariat”.
Begitu pula dengan Muhammad Ali Ash-Shabuni (1996 : 33) memberikan makna Almierats (waris) menurut istilah yaitu : “berpindahnya hak kepemilikan dari seseorang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang) , tanah, atau apa saja yang berupa hak milik secara syar’i”.
Pengertian-pengertian hukum kewarisan Islam yang dikemukakan oleh pakar hukum tersebut, pada dasarnya bahwa hukum kewarisan Islam berkaitan dengan berakhirnya harta kekayaan/kepemilikanseseorang pada saat meninggal dunia kepada ahli warisnya secara Ijbari/otomatis. Sehingga dapat dipahami bahwa menurut hukum kewarisan Islam, pewarisan dapat terjadi setelah pewaris meninggal dunia, maka peralihan harta kekayaan kepada yang termasuk ahli waris pada saat perwaris meninggal dunia, maka peralihan harta kekayaan kepada yang termasuk ahli waris pada saat pewaris masih hidup tidak dipandang sebagai pewarisan. Jadi disebut pewarisan setelah meninggalnya seseorang, maka kekayaannya terlepas darinya dan akan segera berpindah milik ahli waris yang ditinggalkan dan dinyatakan berhak oleh ketentuan hukum Islam.

2.   Sistem Hukum Kewarisan yang Berlaku di Indonesia
Pada zaman sekarang ini, sistem kewarisan yang berlaku bagi Warga Negara Indonesia masih beragam, sebab selain sistem Hukum Kewarisan Islam yang berlaku, juga masih berlaku sistem hukum adat dan sistem hukum perdata. Ketiga sistem hukum tersebut mempunyai dasar berlakunya, seperti telah dikemukakan oleh Mohammad Idris Ramulyo (1994 : 1 – 2) bahwa :
1.      Sistem hukum kewarisan perdata barat (Eropa) yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Perdata, berdasarkan ketentuan Pasal 131 IS, Staatsblad 1917 Nomor 129 jo. Staatsblad  1917 nomor 12 tentang penundukan diri terhadap hukum Eropa, maka Burgerlijk Wetboek (BW) tersebut berlaku :
a.   Orang-orang Eropa dan mereka yang dipermasamakan dengan orang Eropa.
b.   Orang Timur Asing (Tionghoa).
c.   Orang Timur Asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukkan diri terhadap hukum Eropa.
2.      Sistem hukum kewarisan adat yang beraneka ragam pula sistemnya, yang dipengaruhi oleh bentuk etnis berbagai daerah di lingkungan hukum ada.
3.      Sistem huku kewarisan Isalm yang berlaku di Indonesia yang beragama Islam, berdasarkan Staatsblad 1854 Nomor 129, diundangkan di negeri Belanda dengan Staatblad 1885 Nomor 2, di Indonesia dengan Staatsblad 1929 Nomor 221, yang telah dirubah, ditambah dan sebagainya, terakhir berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 jo. Ketetapan MPRS Nomor : II/1961 Lampiran A Nomor 34 jo. GBHN 1983 jo. Ketetapan MPR Nomor : II/1983 Bab IV.
Berlakunya ketiga sistem hukum kewarisan di Indonesia, akibatnya masih berpengaruh terhadap penyelesaian sengketa kewarisan, sebab anggota keluarga yang bersengketa dapat memilih salah satu dari ktetiga sistem hukum tersebut, berdasarkan “hak opsi” yang tercantum dalam bagian Penjelasan Umum angkat 2 alinea keenam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Pilihan hukum ini dapat menimbulkan problema hukum apabila diantara ahli waris tidak ada kesempatan untuk menggunakan suatu sistem hukum, sehingga suatu perkara diajukan oleh ahli waris yang satu ke Pengadilan Negeri dan ahli waris yang lainnya mengajukan ke Pengadilan Agama.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 angka 4.2 antara lain mengatur :
“perkara-perkara antara oang-orang yang beragama Islam di bidang kewarisan yang juga berkaitan dengan pilihan hukum merupakan masalah yang terletak di luar badan pradilan, dan berlaku bagi mereka atau golongan rakyat yang hukum warisnya tunduk pada hukum adat dan/atau hukum Islam, atau tunduk pada hukum perdata barat(BW) yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri atau memilih hukum Islam yang menjadi wewenang Pengadilan Agama”
ketentuan tersebut menegaskan bahwa kesepakatan menjatuhkan pilihan hukum waris yang diinginkan haru sudah terwujud sebelum para pihak berperkara di pengadilan. Oleh karena itu jangkauan mempergunakan pilihan hukum sampai batas sebelum gugatan diajukan ke pengadilan.
Di sisi lain pilihan hukum bagi orang yang beragam Islam erat kaitannya dengan tingkat kesadaran terhadap agamanya yakni dengan memilih hukum Islam untuk menyelesaikan sengketa kewarisannya. Orang yang beragama Islam berartiia secara totalitas telah menyerahkan dirinya dan tunduk kepada tuntunan agama termasuk hukum Islam. Sehingga dengan demikian bagi orang yang telah memilih agama Islam sebagai agamanya, tidaklah ada pilihan lain kecuali memilih hukum kewarisan Islam dalam menyelesaikan perkara kewarisannya.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama memberikan hak opsi atau pilihan hukum bagi orang Islam dalam menyelesaikan sengketa kewarisannya. Jika mereka memilih hukum Islam , maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama, tetapi jika mereka memilih hukum adat atau perdata maka yang berwenang adalah Pengadilan Negeri    

3.   Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Sebagaimana diketahui, setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa, perselisihan atau konflik yang sedang mereka hadapi. Penyelesaian sengketa dapat saja dilakukan oleh kedua belah pihak secara kooperatif, dibantu oleh orang lain atau ketiga yang bersifat netral, dan sebagainya.
Saat ini bentuk penyelesaian sengketa yang umum dilakukan adalah melalui cara negosiasi,meditasi, konsiliasi, dan arbitrase, yanglebih dikenal dengan istilah Alternative Dispute resolution atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.
a.   Negosiasi
      Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Dept. P&K,1997:686) negosiasi diartikan sebaga: 1) proses tawar-menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak(kelompok atau organisasi) yang lain, 2) penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa.
      Dengan demikian, negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih  harmonis dan kreatif. Di sini,para pihak berhadapan langsung secara seksama dalam mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi dengan cara koopereatif dan saling terbuka.

b.   Mediasi
Terdapat beberapa pengertian meditasi, antara lain dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Dept. P&K,1997:640), disebutkan bahwa meditasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat.
Dari beberapa pengertian yang ada dapat disimpulkan bahwa meditasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilisator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat. Denagn kata lain, proses negosiasi pemecahan masalah adalah proses di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan secara memuaskan.
c.   Konsialisasi
      Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan sebagai usaha memppertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan. Konsiliasi dapat juga diartikan sebagi upaya membawa pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua belah pihak secara negosiasi (Joni Emirzon,2001:91)
      Menurut Oppenheim (Huala Adolf, 1994:186), konsiliasi dalah proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkannya kepada suatu komisi orang-orang yang bertugas untuk menguraikan/menjelaskan fakta-fakta dan (biasanya setelah mendengar para pihak dan menguppayakan agar mereka mencapai suatu ksepakatan), membuat usulan-usulan untuk suatu penyelesaian, namun keputusan tersebut tidak mengikat.
d.   Arbitrase
      Menurut Subeki (dalam Joni Emirzon, 2001: 97) bahwa arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan.
      Dengan demikian pada dasarnya arbitrase ini adalah suatu proses penyelesaian sengketa para pihak yang dilakukan secara musyawarah dengan menunjuk pihak ketiga sebagi wasit, hal mana dituangkan dalam salah satu bagian kontrak. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini digunakan terutama dalamkegiatan bisnis atau perdagangan
   Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan di atas dilakukan  diluar pengadilan. Dan dari beberapa bentuk alternatif penyelesaian sengketa tersebut, pada dasarnya terdapat kesamaan yaitu upaya mengakhiri dan menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang terjadi antar para pihak dengan cara damai melalui musyawarah untuk mufakat.

B.  Analisis
1.   Pengaturan Hukum Tentang Penyelesaian Sengketa Non Litigasi
pengaturan tentang penyelesaian sengketa non ligitasi(diluar pengadilan) dimaksudkan agar alternatif penyelasian sengketa yang di gunakan nanti mempunyai nilai hukum dan kpastian hukum bagi pihak yang bersengketa.
Mencermati proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan dewasa ini telah berkembang secara internasional mengenai  Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam kaitan dengan berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase terdapat berbagai pandangan mengenai ADR itu sendiri.

Sudargo Gautama (1999 : 40 – 41) :
“Menjelaskan perumusan Alternatif Penyelesaian Sengketa yaitu lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian di luar Pengadilan dengan cara Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi atau penilaian ahli. Jadi rumusan ini berbeda dengan perumusan Arbitrase yang dipergunakan dalam Undang-undang Arbitrase 1999”.

Menurut Sudargo Gautama, bahwa jawaban Pemerintah atas pemandangan umum fraksi-fraksi DPR pada tanggal 6 April 1999 telah dikemukakan oleh Menteri Kehakiman atas pertanyaan Fraksi ABRI (F-ABRI) telah ditentukan berkenaan dengan mengapa alternatif penyelesaian sengketa (“ADR”) tidak dijelaskan dalam Pasal RUU.
Menurut Menteri Kehakiman Muladi telah dinyatakan   bahwa :
“Di dalam pilihan penyelesaian sengketa ini terdapat dua aliran, yaitu aliran pertama yang berpendapat bahwa Arbitrase terpisah dari alternatif pilihan sengketa dan aliran kedua berpendapat merupakan alternatif pilihan sengketa”.

Bertolak dari penjelasan tersebut diatas, maka dapat di katakan bahwa rancangan undang-undang yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang No. Tahun 1999 tentang alternatif penyelesaian sengketa dan Arbitrase menganut aliran kombinasi (combination of processes) dan hal ini terlihat jelas dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut,hal ini pun di dukung oleh Muladi, yang menyatakan bahwa arbitrase dapat berdiri sendiri dan juga dapat merupakan bagian dari alternatif penyelesaian sengketa, dan menurut hemat kami apapun bentuknya kedua-duanya adalah merupakan suatu proses penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang dapat dilaksanakan diluar pengadilan.
Perumusan ADR kita saksikan ada yang mendefinisikan ADR sebagi suatu istilah generik(generic term) menunjuk para praktek yang luas sekali, yang bertujuan untuk mengurus dan secara cepat menyelesaikan adanya ketidak sepakatan atau sengketa dengan biaya yang lebih ringan dan kurang bersifat “permusuhan”(adverserial) secepat mungkin supaya tidak mempengaruhi hubungan bisnis dari para pihak dibandingkan dengan banyaknya dan panjangnya penyelesaian melalui pengadilan.
Peraturan pelaksanaan perundang-undangan di dalam masyarakat, sudah barang tentu bertumbuh kultur (budaya) masyarakat yang bersangkutan, faktor kultur  mempengaruhi berlakunya peraturan-peraturan tersebut, dan hal ini dapat terlihat pada penggolongan masyarakat sebagaimana di uraikan terdahulu yakni terhadap masyarakat yang anti litigasi dan masyarakat litigasi

W . G . Sumner (dalam Achmad Ali : 1998 : 149):  
“Mengemukakan pandangan klasik tentang model masyarakat konsensus tentang hubungan antara hukum dan masyarakat. Dalam pandangan  Sumner, masyarakat mengatur dirinya sendiri melalui folways dan moral yang mereka miliki, danhukum dikembangkan secara bertahap melalui folkways  dan mores yang sifatnya umum.”

Roscoe pound (dalam Achmad Ali : 1998 : 149) kemukakan:
“Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok dimana didalamnya sering terjadi konflik antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain, tetapi ada satu kesatuan yang mendasar dibelakang konflik-konflik itu. Fungsi hukum menurut Pound adalah untuk memenuhi peran rekonsiliasi dan untuk menciptakan keharmonisan berbagai tuntutan dan kebutuhan yang saling bertentangan. Hukum merupakan bentuk ‘rekayasa sosial’ yang diarahkan pada terciptanya keharmonisan sosial”


sedangkan menurut, Talcott Parsons (dalam Achmad Ali : 1998 : 149):
“Memandang masyarakat sebagai suatu yang didasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma tertentu yang dipertahankan bersama warganya, tujuan hukum menurut Parsons, adalah untuk mencapai keharmonisan dan integritas sosial serta untuk membantu menurunkan potensi unsur-unsur konflik serta untuk meminyaki, mesin hubungan sosial.”

Bertitik tolak dari pendapat-pendapat tersebut maka dalam kehidupan bermasyarakat, hukum sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, dan bila hal ini di kaitkan dengan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan maka kesemuanya akan berpulang pada masyarakat serta pihak-pihak yang bersengketa ataupun yang beda pendapat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar